SI TUMPIE, NENEK GARGASI DAN PUTRI SULIGI
SI TUMPIE, NENEK
GARGASI DAN PUTRI SULIGI
Dari jauh
tampak seseorang sedang menuruni lereng bukit suligi ditengah kabut tipis yang menyelimuti
puncak bukit tersebut. Semburat tipis
cahaya matahari pagi menyebabkan munculnya pelangi dan kicauan aneka jenis
burung menyajikan musik alami yang menenangkan hati. Sembari memikul sesuatu, seseorang tersebut
tampak sedang bergembira. Setelah dilihat dari dekat, tampak seorang pemuda
yang kekar lagi tampan dengan kulit yang berwarna putih, ternyata dia sedang
memikul seekor hewan buruan yang tadi malam terjebak diperangkap yang
dibuatnya. Dialah si Tumpie, kesehariannya dalam memenuhi kebutuhan lauk
pauknya dirumah, selalu menggantungkan hidupnya kepada alam. Kadang memancing
ikan disungai, kadang memasang jerat dihutan, hasil tangkapannya nantinya
sebagian untuk dimakan dan sebagian lagi untuk ditukar dengan keperluan dapur
lainnya di pasar tradisional kampung Tonang.
Pagi ini, Si
Tumpie mendapatkan seekor kijang jantan
yang cukup besar. Walaupun demikian, tidak tampak ada kelelahan di
wajahnya, padahal jarak hutan tempat memasang jerat dan rumahnya di kampung
Tonang membutuhkan waktu lebih dari satu jam dengan berjalan kaki, ditambah
lagi topografi bukit suligi yang tidak datar. Untuk sampai ke Kampung Tonang, Si Tumpie harus menuruni dua lembah dan
menaiki satu bukit yang terjal dan berbatu. Ini mungkin terjadi karena
perawakan tubuh tumpie yang kekar dan atletis. Dari kecil dia sudah terbiasa
hidup mandiri, Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih dalam kandungan,
sedangkan ibunya sering sakit-sakitan setelah ditinggal suaminya, dan akhirnya
meninggal dunia ketika Si Tumpie masih berusia 7 tahun. Saat ini dia hidup
bersama neneknya yang sudah berumur lebih dari 80 tahun.
Ketika masih
kecil dahulu, nenek Si Tumpie merupakan dukun beranak dikampung Tonang. Setiap
keluarga yang ada di kampung Tonang, pasti akan memerlukan jasanya, karena dia
merupakan dukun beranak satu-satunya dikampung Tonang. Setiap menolong warga
yang melahirkan, maka nenek Si Tumpie akan mendapatkan imbalan jasa yang cukup
untuk menghidupi mereka berdua. Namun
sejak si Tumpie remaja, neneknya sudah mulai sakit dan tidak sanggup lagi untuk
menafkahi mereka berdua, sehingga sejak saat itu si Tumpie lah yang menjadi tulang punggung
keluarga. Tidak seperti remaja lainnya di kampung Tonang, si Tumpie tidak
memiliki banyak waktu untuk bermain. Hari harinya selalu dihabiskan untuk
mencari hewan buruan sebagai sumber nafkah bagi dirinya dan neneknya. Mungkin inilah yang menempa dirinya hingga
tumbuh menjadi seorang lelaki yang kuat dan gagah perkasa. Tanpa rasa takut, si
Tumpie bahkan memesang jerat buruannya di hutan yang tak sanggup dimasuki oleh
penduduk di kampung Tonang. Seperti pagi ini dia mendapatkan kijang dari hutan
yang dikenal angker disebelah selatan kaki bukit suligi. Konon kabarnya di
hutan itu merupakan tempat bersemayamnya Nenek Gargasi yang suka bergerilya
dimalam hari untuk memangsa bangsa manusia.
Nek... aku
pulang ,,, kata Si Tumpie begitu kakinya menginjak halaman rumah. , setelah
ditunggu beberapa saat si Tumpie tidak mendapatkan jawaban.
Nek... nek...,
neeneek..., Assalamualaikum kata si Tumpie sambil menggedor pintu gubuk tempat
tinggalnya.
Karena tidak
mendapatkan jawaban, lalu si Tumpie meletakkan hewan buruan dipundaknya ke
lantai, dan berjalan mengitari rumah menuju halaman belakang. Sampai halaman
belakang alangkah terkejutnya si Tumpie mendapati neneknya terbaring ditanah
dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Badanya tampak membiru seperti ada bekas
gigitan hewan yang berbisa. Mungkin karena letak gubuknya di pinggir kampung
dan jauh dari rumah warga lainnya, menyebabkan ketika disengat hewan berbisa
tersebut tidak ada warga yang mengetahuinya, sehingga tidak mendapatkan
pertolongan dan akhirnya merenggut nyawa sang nenek.
Dengan
setengah berlari dan dalam keadaan berduka, si Tumpie meminta pertolongan
kerumah tetangga terdekatnya. Akhirnya tanpa menghiraukan hewan buruannya lagi,
si Tumpie bersama warga yang sudah mulai berdatangan menyelesaikan prosesi
pemakaman sang nenek. Singkat cerita
akhirnya, sekarang tinggallah si Tumpie sebatang kara. Seiring dengan berjalan
waktu setelah tujuh hari pemakaman nenek, si Tumpie kembali menjalani rutinas
kehidupannya. Walaupun dari kecil hidupnya kurang beruntung dan penuh
penderitaan dia mampu menjalani kehidupannya dengan tegar tanpa berkeluh kesah.
Pagi ini dia
kembali, kehutan yang konon katanya angker tersebut karena ada nenek Gargasi yang
suka memangsa bangsa manusia disana, namun karena untuk menjenguk jerat
kijangnya yang merupakan sumber nafkahnya Si Tumpie seperti tidak mengindahkan
peringatan dari beberapa warga kampung untuk tidak memasuki hutan tersebut. Hutan
ini adalah target terbaik tumpie untuk memasang jerat, karena selalu membuahkan
hasil, setiap memasang jerat disini hampir tak pernah gagal dan Si Tumpie
selalu membawa hewan buruan pulang. Kalau ditempat lain biasanya si Tumpie akan
bersaing dengan warga lainnya, sehingga menyebabkan peluang hewan buruan yang
didapat menjadi lebih kecil. Berbeda dengan hutan ini, si Tumpie tidak memiliki
pesaing, karena tidak ada warga Kampung Tonang yang berani mendekatinya apalagi
untuk memasang jerat. Dengan berbekal sebilah parang yang terselip di pinggang
tanpa mengenal takut akhirnya si Tumpie
sampai ke tengah hutan angker tersebut. Dengan penuh keyakinan jeratnya akan
mendapatkan hasil, Si Tumpie menuju lokasi tempat memasang jerat, dan benar
saja dari kejauhan, tampak seekor kijang meronta ronta terikat jerat dari tali
yang dipasangnya sore kemaren.
Dengan penuh kegirangan si Tumpie berlari
menuju jeratnya dan bersiap menangkap kijang tersebut, namun alangkah kagetnya
si Tumpie setelah begitu dekat, tiba tiba kijang tersebut menghilang tanpa
meninggalkan jejak dan tampak jeratnya masih terpasang sempurna pertanda tidak
ada hewan buruan yang terperangkap disana. Dengan bulu kuduk yang merinding si
Tumpie berusaha untuk tenang, dan menganggap kejadian tadi hanyalah
halusinasinya kerana terlalu berharap bisa menangkap kijang. Tiba tiba Si
Tumpie bisa merasakan ternyata hutan ini tidak seperti biasanya. Tidak ada
terdengar kicauan burung sama sekali, dan daun kayu yang biasanya bergoyang
ditiup angin, tanpak tidak bergerak sama sekali. Tanpa berpikir lagi si Tumpie
bermaksud sesegera mungkin meninggalkan hutan tersebut. Setelah berjalan lebih
kurang sepuluh langkah, tiba-tiba kakinya menyenggol sesuatu dan kepalanya
terbanting kesalah satu batang pohon, hingga akhirnya jatuh pingsan dan tak
sadarkan diri.
Begitu siuman
Si Tumpie mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan atau tepatnya sebuah
kamar yang sangat indah. Sebuah meja makan yang terbuat dari batu pualam
menyajikan hidangan berupa aneka macam makanan lezat dalam sebuah bejana yang
terbuat dari emas terpampang dihadapannya. Ada juga permadani indah terhampar
tepat dibawahnya. Kemudian pandangannya
diarahkan kegenap penjuru ruangan didekorasi demikian indah dan sempurna. Apa
yang lihatnya saat ini tidak pernah dibayangkan dan dijumpainya selama hidupnya
di kampung Tonang. Si Tumpie berusaha mengingat ngingat apa yang terjadi dengan
dirinya, kenapa dia tiba-tiba berada ditempat seperti ini.
Ketika sibuk
berselancar dalam alam fikirannya untuk mengingat tentang kejadian yang menimpa
dirinya, tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka, tampak seorang gadis yang
sangat cantik, dengan mengenakan pakaian berwarna ungu keemasan, dengan
mengenakan kalung berlian yang tergantung dilehernya serta cincin dan gelang
yang berwarna kuning sepertinya terbuat dari emas murini 24 karat. Sambil menebar
senyum yang indah dan menawan wanita tersebut berjalan mendekati Si Tumpie.
Apa kabar
bg..?? sudar sadar rupanya.., aku adalah Piah, Putri Bunian Bukit Suligi, kata
wanita itu menegur Si Tumpie yang bengong melihat pesona wanita tersebut.
Bbaik..., Tuan
putri, .. jawab Si Tumpie, kenapa saya berada disini?? Apakah saya sudah mati,
katanya lagi.
Sambil
tersenyum, dengan menampakkan barisan gigi yang tertata rapi berwarna putih
bersih, Abang ‘... ada ada saja katanya, saat ini abang berada di kediamanku,
tadi aku menyelamatkan abang dari perangkap yang dibuat oleh nenek gargasi..,
hampir saja abang menjadi korban keganasannya,, kata wanita itu sambil
menjelaskan tentang kejadian yang menimpa Si Tumpie hingga akhirnya bisa sampai
kekediamannnya.
Dengan
manggut-manggut, si Tumpie mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Diapun menceritakan
kenapa dia bisa sampai hampir masuk perangkap nenek Gargasi, semua dilakukannya
adalah demi untuk bertahan hdup dengan mencari nafkah melalui berburu hewan
dihutan ini.
Kalau
saya pingin kembali kekampung Tonang, bagaimana caranya ya..?? tanya Si Tumpie
pada wanita tersebut.
Abang
tenang saja , saya pasti akan membalas budi nenek abang yang dulu pernah
menolong ibu saya ketika melahirkan saya melalui abang,, apalagi saya telah
mendengar kabar nenek abang telah meninggal, sahut wanita itu. Bahkan kalau
abang tidak keberatan, saya telah bersumpah untuk berbakti kepada abang seumur
hidup saya,, saya siap menjadi istri abang..
Mendengar
jawaban wanita itu alangkah senangnya hati Si Tumpie, dan dia juga tidak
menyangka, walaupun tidak mendapatkan hewan buruan, setidak tidaknya dia bisa
mendapatkan istri yang cantik jelita.
Bagaimana
bg?? Tanya wanita itu lagi.., apa abang mau menjadi suami saya ???
Dengan
malu-malu si Tumpie menjawab,, saya mau... katanya..
Singkat cerita
akhirnya diadakanlah pesta pernikahan yang meriah antara si Tumpie dengan Piah
sang Putri Bunian dari Bukit Suligi sehingga akhirnya mereka resmi menjadi
sepasang suami istri. Setelah beberapa purnama menjalani kehidupan yang sangat
menyenangkan bersama istrinya di kampung bunian Bukit Suligi, timbul rasa rindu
si Tumpie terhadap kampung Tonang. Teringat
olehnya nasib warga kampungnya saat ini yang masih dalam ketakutan akibat
keberadaan nenek gargasi yang masih menghantui mereka. Teringat olehnya
bagaimana warga kampung tidak berani berjalan sendiri sendiri apalagi kalau
memasuki hutan sehingga mereka tidak lelluasa untuk mencari nafkah.
Akhirnya dengan
perasaan ragu-ragu beban pikirannya itu diceritakannya kepada istrinya, dan
meminta pendapat istrinya untuk mengatasi nenek Gargasi yang selalu mengganggu
ketenangan warga kampung tonang. Ternyata
istrinya menyambut keinginan suaminya dengan suka cita, karena Piah Putri
Suligi sangat mendukung kebaikan dari sumainya dan dia terharu karena ternyata
suaminya memiliki jiwa ksatria yang tidak mementingkan diri sendiri. Kemudian Piah mengeluarkan sebuah kentongan
dari kayu dan menyerahkan kepada suaminya sambil berkata; suamiku, suara yang
keras adalah kelemahan dari nenek Gargasi, .... dia akan sangat kesakitan jika
mendengar kentongan ini di pukul, jika nanti kamu berjumpa dengan nya di hutan
atau dimanapun, pukullah kentongan ini, niscaya dia akan lari tunggang
langgang, dan beritahu warga kampung
Tonang, agar juga membuat kentongan dirumahnya masing-masing.
Sampai pada
hari yang telah ditentukan, Si Tumpie berangkat ke kampung Tonang, dan berjanji
kepada istrinya untuk kembali secepatnya. Istrinya pun membuka segel kampung
bunian, sehingga suaminya bisa tiba kembali kehutan tempat biasa dia memasang
perangkap kijang, juga tak lupa istrinya memberi tahu cara untuk dapat kembali
ke kampung bunian jika urusannya telah selesai. Setelah berjalan dan melewati
beberapa bukit dan lembah, akhirnya dari jauh Si Tumpie bisa melihat kampung
Tonang. Dengan setengah berlari karena gembira si Tumpie akhirnya memasuki
batas kampung, namun belum beberapa langkah Si Tumpie mendengar ada suara
berisik seperti orang yang meminta tolong. Dengan berlari Situmpie menuju
sumber suara tersebut, tampak olehnya seseorang dengan telinga lebar seperti telingan
kelinci dengan memakai pakaian compang
camping dari kulit binatang yang menutupi tubuhnya seadanya, tinggi sekitar 3
meter, rambut gimbal tak terurus panjang sebahu, kulitnya nampak keriput,
apalagi pada bagian wajah yang bopeng ditambah lagi dengan gigi yang besar dan
berwarna kuning kehitaman apalagi kukunya panjang berwarna hitam berkarat
tengah bersiap menangkap seorang anak laki laki, namun di halangi oleh ayahnya.
Begitu melihat
Si Tumpie, ayah anak itupun berseru.. Tumpie... tolong, nenek Gargasi ini mau
memangsa anakku katanya sambil memegang parang yang terhunus kearah nenek
gargasi. Namun apa daya, hanya dengan
sekali pukul tampak ayah sang anak terlempar ketanah beberapa meter dibanting
oleh nenek Gargasi yang badannya 3 kali lebih besar dari ayah anak tersebut. Kemudia
dengan melompat nenek Gargasi bersiap menangkap anak laki laki itu. Namun sebelum
sempat menerkam anak tersebut, si Tumpie memukul kentongan pemberian istrinya
sekuat tenaga secara terus menerus.
Nenek Gargasi
yang sebelumnya tidak menyadari itu, tiba-tiba berteriak kesakitan dengan
berguling guling ditanah. Dengan wajah
penuh dendam melihat kearah Si Tumpie, dan dengan sekali lompatan menghilang
dibalik rimbunnya pepohonan. Warga kampung Tonang pun mulai berdatangan seiring
dengan menghilangnya nenek Gargasi tersebut. Ayah anak laki-laki itu tampak tak
henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Si Tumpie karena telah
menyelamatkan dia dan anaknya, begitu juga warga kampung tampak menyambut Si
Tumpie bak pahlawan. Akhirnya si Tumpie pun mulai menjelaskan tentang kelemahan
nenek Gargasi yang takut terhadap suara yang bising akibat pukulan kentongan,
dan seluruh warga diminta oleh Si Tumpie membuat kentongan dirumahnya
masing-masing, sehingga nantinya bisa jadi alat untuk mengusir nenek Gargasi.
Setelah beberapa
minggu tinggal di kampung Tonang, dan dirasakan nenek Gargasi tidak berani lagi
munciul, karena setiap kedatangan nya disambut dengan bunyi kentongan warga
yang menyakitkan telingan nenek Gargasi tersebut, akhirnya si Tumpie kembali ke
kampung Bunian dan hidup bahagia dengan istrinya si Piah Putri Suligi.
Komentar