SEJARAH BENTENG " PARIT ARO KOTO UJUNGBATU TINGGI "

Gambar Hanya Pemanis

 

SEJARAH BENTENG PARIT ARO KOTO UJUNGBATU TINGGI

Dimasa pemerintahan Raja Rokan “ Yang Dipertuan Sakti Lahit” yang memerintah kerajaan Rokan pada tahun 1645 – 1704 M, kota Ujungbatu menjadi wilayah paling hilir dari wilayah kekuasaannya.  Pada saat itu pusat pekampungan kota Ujungbatu masih terletak di Koto Ujungbatu Tinggi yang letaknya di mudik daerah Durian Sebatang sekarang. Wilayah Ujungbatu sekarang masih merupakan rawa rawa yang dinamai “Danau Seseak Jalo”.

Ilustrasi Danau Seseak Jalo

Ilustrasi orang menjala ikan


Raja Rokan “ Yang Dipertuan Sakti Lahit” memiliki dua orang saudara perempuan yang cantik jelita yaitu Puti Intan Semato dan Puti Intan Sudi. Puti Intan Semato diberi gelar “ Permaisuri “ dan Puti Intan Sudi digelari “ Rajo Siti “.  Puti Intan Semato atau Permaisuri menikah dengan suaminya yang bergelar “Sultan Rokan” dan memiliki dua orang putra yang bernama Selo dan Gudimat serta dua orang Putri yang bernama Umah dan Suadi. Mereka semua tinggal bersamanya dipusat kerajaan rokan, sedangkan Puti Intan Sudi atau Rajo Siti diboyong suaminya Sultan Halifata’ilah ke Koto Bunga Tanjung dan menetap disana.

Koto Bungo Tanjung adalah nama lain kampung Lubuk Bendahara Sekarang. Selain itu Lubuk bendahara juga pernah diberi nama Koto Kocik. Koto Bungo Tanjung mengalami pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka berdampak terhadap luasan lahan untuk membuka ladang yang semakin sempit. Lambat laun  akhirnya luasan lokasi untuk membuat ladang semakin jauh melebar dan hampir sampai ke wilayah Sungai Duo.

Ilustrasi ladang padi

Sungai Duo in sudah merupakan wilayah kerajaan lain. Sehingga  timbullah keinginan  Sultan Halifata’ilah dan para pemuka kampung Koto Bungo Tanjung hendak memperluas lokasi Berladang sampai ke Tanah Sungai Duo yang waktu itu bernama Sungai Dodo. Akan tetapi saat itu wilayah Tanah Itu  masuk wilayah Raja Kepenuhan yang ditempati oleh suku nan enam. Singkat cerita dikirimlah utusan ke kerajaan kepenuhan untuk Meminta Dan Membeli Tanah Sungai Duo tersebut dan didapat kesepakatan wilayah tersebut ditukar dengan sebuah Pohon dari emas, sebuah gading gajah dan uang 20 real.

             Setelah areal wilayah ulayat Koto Bungo Tanjung meluas sampai ke sungai Duo, maka Sultan Halifata’ilah semakin sering berkunjung ke perkampungan suku nan enam yang terdapat disana. Sampai akhirnya jatuh hati dan menikah dengan salah satu perempuan dari kampung tersebut . istrinya yang pertama Puti Intan Sudi atau Rajo Siti tidak terima suaminya menikah lagi, dan menyebabkan keretakan dirumah tangga mereka.

https://shope.ee/6KRp7ixt7h

Terjadi pro dan kontra dalam masyarakat penduduk kampung Koto Bungo Tanjung dalam menyikapi perselisihan rumah tangga Sultan Halifata’ilah dan Puti Intan Sudi. Sampai akhirnya perselisilahan dalam rumah tangga mereka dibahas dalam Kerapatan adat Di Kota Bungo Tanjung. Dalam musyawarah kerapatan adat didapat mufakat akan membantu  mendamaikan perselisihan ini serta dibentuk tim perwakilan untuk mendatangi Sultan Halifata’ilah.  Utusan kerapatan adat yang dibentuk dipimpin oleh seorang penghulu yang bergelar Raja Mangkuto.

Ilustrasi Puti Intan Semato dan Puti Intan Sudi

        Sesampainya utusan kerapatan adat dikediaman Sultan Halifata’ilah disambut dengan emosi oleh Sultan Halafata’ilah didalam rumah, dia tidak terima rumah tangganya dicampuri oleh mereka. Dengan mengamuk Sultan Halafata’ilah melempar Raja Mangktuto dengan tepak sirih dan akhirnya karena tidak ada jalan penyelesaian seluruh rombongan kerapatan adat meninggalkan rumah Sultan Halifata’ilah.

Pada malam harinya, karena tidak terima dengan perlakuan Sultan Halifata’ilah yang arogan, maka dengan kesepakatan bersama beberapa orang tua tua dan beberapa orang dalam suku dikampung Koto Bungo Tanjung diputuskan mereka lari meninggalkan Koto Bungo Tanjung. Hampir setengah penduduk Koto Bungo Tanjung ikut bersama Rajo Siti lari sampai ke wilayah kerajaan Rambah. Sampai di kerajaan Rambah akhirnya Puti Intan Sudi atau Rajo Siti menikah dengan Yang Dipertuan Sakti Raja Rambah, dan tidak berapa lama setelah ditinggal istri pertamanya Puti Intan Sudi atau Rajo Siti, Sultan Halifata’ilah pindah ke Koto Ujungbatu Tinggi dan menetap disana sampai tutup usia.

Disisi lain di kotaraja kerajaan Rokan, Iparnya yang menjadi raja Rokan yaitu Yang Dipertuan Sakti Lahit juga meninggal dunia setelah memerintah selama lebih kurang 59 tahun. Karena tidak memiliki keturunan akhirnya kerajaan Rokan diwariskan kepada keponakannya yang masih kecil bernama Yang Dipertuan Sakti Selo. Menjelang dewasa kepemimpinan kerajaan rokan di pangku oleh ayahnya Sultan Rokan lebih kurang 35 tahun lamanya.

Setelah dewasa dan menjadi raja Rokan, yang Dipertuan Sakti Selo mendapat desakan dari Ibunya Puti Intan Semato atau Permaisuri untuk menjemput bibinya Puti Intan Sudi atau Rajo Siti  yang lari ke kerajaan Rambah. Dengan didesak sedemikian rupa akhirnya Yang Dipertuan Sakti Selo selaku raja kerajaan Rokan mengirim dua orang utusan ke kerajaan Rambah untuk menjemput bibinya Puti Intan Sudi atau Rajo Siti. Yang menjadi utusan waktu itu adalah dari suku Melayu Pokomo yaitu Datuk Perdana Mentri dan dari suku Mais Datuk Paduka Raja.

Sesampainya di kerajaan rambah, Raja Rambah tidak mau melepaskan Puti Intan Sudi kembali ke kerajaan Rokan dan bahkan dua orang utusan tersebut terbunuh di kerajaan Rambah. Akhirnya ini yang menyulut terjadinya api peperangan antara kerajaan Rambah dan kerajaan Rokan. Peperangan yang terjadi dengan kerajaan Rambah membuat raja Rokan mengambil kebijakan untuk mendudukkan Raja bantu di Koto Ujungbatu Tinggi.

 Ujungbatu Koto Tinggi adalah sebagai wilayah terhilir dari kerajaan Rokan dan langsung berbatasan dengan kerajaan Rambah serta jauh dari Rokan sebagai Pusat Kerajaan. Untuk memudahkan pengawasan dalam situasi perang, dan dengan kata mufakat bersama penghulu kampung di Rokan,  Yang Dipertuan Sakti Selo mengutus adiknya Yang Dipertuan Besar Gudimat untuk memerintah di Koto Ujungbatu Tinggi.

Dalam pemerintahannnya sebagai raja Bantu Kerajaan Rokan, Yang Dipertuan Sakti Gudimat membuat Parit besar di Koto Ujungbatu Tinggi sebagai benteng pertahanan untuk antisipasi serangan dari kerajaan Rambah. Benteng tersebut dikenal dengan nama “ Parit Aro Koto Ujungbatu Tinggi”, yang saat ini menjadi batas ulayat Kota Ujungbatu dan Desa Lubuk Bendahara. Selama masa peperangan, Parit Aro Koto Ujungbatu Tinggi ini menjadi benteng pertahanan dari serangan pasukan kerajaan Rambah. Setiap serangan dari kerajaan Rambah akan selalu kandas ketika sampai di benteng tersebut, dan ini berlanjut sampai masa peperangan berakhir.  

Ilustrasi Parit Aro Koto Ujungbatu Tinggi

Ketika  meletusnya perang Padri pada abad 17 M, Wilayah kerajaan Rokan yang tidak tersentuh oleh serbuan Kaum Padri dari Sumatera Barat adalah Koto Ujungbatu Tinggi.  Parit Aro Koto Ujungbatu Tinggi sekali lagi menjadi penolong dalam kondisi peperangan. Saat semua wilayah kerajaan Rokan lainnya sudah ditaklukan oleh kaum Padri, bahkan Yang Dipertuan Sakti Selo dan seluruh keluarga kerajaan Rokan ikut terbunuh dalam Perang Padri tersebut, namun Koto Ujungbatu Tinggi tetap menjadi wilayah berdaulat dengan adanya keberadaan “ Parit Aro Koto Ujungbatu Tinggi “.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POTONG EKOR IKAN JUARO MENGELUARKAN BAU KOTORAN MANUSIA

SIHIR ILMU TINGGAM IKAN PARI SUNGAI ROKAN

DAUN BAKUNG BISA UNTUK OBAT DAN MASAKAN

ASAL MUASAL UJUNGBATU ROKAN

MANCING IKAN PATIN SUNGAI ROKAN UMPAN BAKWAN

Makanan Tradisional Rokan Tumis Pucuk Seminyak