KENANGAN TUMBAL KEPALA JEMBATAN TOPI AYIE UJUNGBATU
KENANGAN TENTANG JEMBATAN TOPI AYIE UJUNGBATU DAN TUMBAL KEPALA
Topi Ayie adalah penyebutan nama sebuah tempat atau lokasi yang terletak disekitar jembatan Sungai Rokan yang berada di Desa Sukadamai Kecamatan Ujungbatu. Kata Topi Ayie adalah kata yang terdapat dalam bahasa Melayu Rokan yang terdiri dari dua suku kata yaitu " Topi " dan " Ayie ". Topi artinya pinggir atau di pinggir, sedangkan Ayie artinya air yang dimaksudkan untuk menyebutkan Air Sungai Rokan. Ada banyak fenomena indah dan kisah menarik dari Topi Ayie sejak di zaman dahulu sampai saat ini.
Saat ini Topi Ayie menjadi salah satu pusat wisata murah meriah di Ujungbatu. Melihat air Sungai Rokan yang jernih di musim kemarau, akan memacu adrenalin seseorang untuk menceburkan dirinya dan mandi di Topi Ayie. Adanya suasana pinggiran sungai di Topi Ayie yang berupa pantai berpasir dan relatif landai serta berair dangkal sangat cocok sebagai tempat pemandian dan bermain air bersama anggota keluarganya dan jika membawa Kenderaan bisa langsung diparkir sampai ke pinggir sungai.
Pemandangan Bias sinar mentari sore akan terlihat indah ketika muncul dibalik bangunan bangunan cafe yang berdiri disepanjang pinggir sungai Rokan pada sisi bagian barat. Jika melihat ke selatan akan tampak hilir mudiknya kenderaan yang menyebrangi jembatan yang sudah dibangun sejak tahun 80-an. Deretan sampan penambang pasir akan tampak terparkir dengan rapi. Jika sudah puas berendam dan bermain di dalam air, maka lidah bisa dimanjakan sambil memandang tepian dengan mencicipi berbagai jenis menu yang disajikan oleh cafe yang ada di pinggir sungai .
Pada masa di atas 35 tahun yang lalu, Topi Ayie merupakan terminal tempat pemberhentian Kenderaan darat dan juga Kenderaan air. Kenderaan untuk transportasi darat seperti bus, truk, sepeda motor dll, akan parkir di Topi Ayie untuk sekedar menunggu antrian penyebrangan atau istirahat dan makan sejenak setelah menempuh perjalanan jauh. Bagi Kenderaan umum Topie Ayie merupakan tempat pemberhentian dan mencari serta mengangkut penumpang. Setiap Kenderaan darat akan melewati Pelayangan Topie Ayie karena merupakan satu satunya penghubung jalan lintas lewat darat dari Pasir Pengaraian ke Pekanbaru ketika itu.
Pelayangan adalah rakit penyebrangan di Topi Ayie ketika belum ada jembatan. Pelayangan ini dirakit dan dibuat sedemikian rupa dari gabungan dua buah sampan super besar yang dihubungkan oleh lantai yang dirakit sehingga mampu mengangkut dan menampung beberapa mobil dan sepeda motor disertai penumpangnya. Untuk menggerakkan pelayangan di manfaatkan tenaga dorongan dari derasnya arus sungai yang dipandu dengan menggunakan kemudi untuk mengarahkan pelayangan.
Ketika hampir mencapai pinggir sungai yang arus tidak lagi deras maka badan pelayangan akan didorong dengan menggunakan galah agar bisa merapat tepat di Bibir sungai. Untuk menjaga agar jangan sampai pelayangan hanyut di bawa arus, maka pelayangan di kaitkan di sebuah katrol yang tergantung pada sebuah Sling baja yang dibuat melintang selebar badan sungai Rokan.
Bagi daerah yang akses jalan daratnya belum memadai, maka mereka akan menggunakan " But Layang ". But layang adalah sampan yang digerakkan dengan dorongan sebuah Mesin Boat yang lazim difungsikan untuk mengangkut penumpang. Penumpang but layang biasanya terdiri dari orang yang berasal dari daerah hulu dan hilir sungai yang berkepentingan keluar daerahnya. Karena akses jalan belum memadai ketika itu, maka sarana transportasi but layang menjadi pilihan untuk mencapai tujuan keberangkatan. Semua but layang akan menjadikan Topie Ayie sebagai terminal dalam mengangkut dan menurunkan penumpang tersebut, sehingga suasana Topie Ayie pada waktu itu selalu ramai seperti layaknya sebuah pasar.
Seiring dengan perkembangan kemajuan zaman, maka jalur transportasi air tidak lagi digunakan karena telah dibangunnya sebuah jembatan penyebrangan di Topi Ayie dan mendukungnya akses jalan darat yang menghubungkan antar daerah di sekitar Ujungbatu sehingga Saat ini yang tampak hilir mudik di sungai Rokan hanyalah sampan nelayan dan sampan penambang pasir.
Jika kembali bernostalgia pada masa kecil diwaktu proses pembangunan jembatan di Topi Ayie sekitar tahun 1987, maka yang terbayang adalah isu penculikan anak anak untuk tumbal pondasi jembatan tersebut. Kebetulan pada zaman tersebut penulis masih berada di sekolah SD. Cerita tentang adanya kepala anak anak yang dijadikan tumbal untuk jembatan ini selalu ada dari mulut ke mulut para orang tua dalam menasehati anaknya agar jangan bermain jauh jauh apalagi seorang diri.
Suasana mencekam dan rasa takut selalu menghantui sampai terselesaikannya proyek pembangunan jembatan tersebut. Dan lucunya lagi kita percaya kalo mobil jip yang dikendarai oleh orang tak dikenal adalah mobil penculik. Alhasil kalo liat mobil jip dijalanan pasti langsung lari terbirit-birit.
Cerita mengenai kepala yang dijadikan tumbal proyek untuk dijadikan fondasi jembatan sudah ada sejak masa penjajahan ratusan tahun lalu. Sebagian masyarakat meyakini bahwa cerita seram dan kejam ini benar benar terjadi pada proyek konstruksi jembatan era 70–80-an.
Fenomena tumbal ini diyakini selalu menjadi tradisi yang terjadi di dalam pembangunan proyek konstruksi jembatan. “Orang proyek” akan mencari anak kecil (laki-laki atau perempuan) di lokasi sekitar proyek. Anak malang yang berhasil dibujuk ini nantinya akan ditimbun hidup-hidup dengan beton di pilar penyangga jembatan sebelah kanan dan kiri. Hal ini bertujuan supaya roh anak ini menjadi penjaga jembatan, dan membuat jembatan menjadi kokoh dan awet.
Dari searching di google, Cerita seram tentang tumbal jembatan ini awalnya muncul dari kisah ketika negeri ini masih mengandalkan rakit untuk menyeberang sungai. Insinyur-insinyur Belanda datang untuk membangun burg atau jembatan. Oleh karena minimnya pengalaman yang dimiliki warga, mereka kebingungan dan bertanya kepada para meneer tersebut. “Bagaimana cara yang ampuh agar kami bisa membangun jembatan yang kuat dan awet?” “Dengan ini!” jawab salah seorang meneer sambil menempelkan jari telunjuknya tepat di kepala orang yang bertanya.
Dari dialog tersebut, warga berasumsi bahwa untuk membangun jembatan yang kokoh, maka harus menggunakan kepala manusia.Tentu saja tidak ada yang mau kepalanya dijadikan tumbal. Maka muncullah dongeng orang potong kepala untuk mencari tumbal ...
Dengan cara menculik dan memenggal kepala. Padahal bagi para meneer Belanda, saat ia menunjuk kepala, itu berarti menggunakan isi kepala untuk menghasilkan jembatan yang kokoh, alias otak.
Terlepas dari segala kisah kenangan seram dan indah tentang Topi Ayie, saat ini Topi Ayie merupakan bukti sejarah peradaban masa lampau yang menjadi kekayaan budaya lokal masyarakat Ujungbatu.
Komentar