KOTA UJUNGBATU

 

Gambar Hanya Pemanis

Setiap kota tumbuh dan berkembang dengan latar belakang berbagai kejadian pada masa lampau dalam perjalanannya sehingga bisa menjadi sebuah kota yang padat penduduk. Kota kota tersebut mengalami dinamika perubahan, baik dari sisi luas wilayah, struktur sosial masyarakat, perekonomian maupun pemerintahan. Secara umum, Cikal bakal sebuah kota di Indonesia biasanya berawal dari sebuah tempat berkumpul membuka areal peladangan selanjutnya menjadi sebuah perkampungan dan akhirnya berkembang menjadi sebuah kota. Adanya interaksi manusia dengan alam untuk membuka lahan belantara yang semakin lama semakin melebar sampai pada puncaknya akan menghadirkan sebuah wilayah teritorial bagi sebuah kota. Kejadian pada masa lampau dalam perkembangan sebuah kota merupakan nilai budaya bangsa yang akan menambah perbendahaaan ilmu sejarah.

Salah satu kota yang menarik untuk dikaji adalah Kota Ujungbatu.  Kota ini  merupakan salah satu kota terbesar di Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau dengan wilayah yang meliputi seluruh wilayah administratif dari Kecamatan Ujungbatu. Kota ini terdiri dari Desa Ngaso, Desa Pematang Tebih, Desa Ujungbatu Timur, Desa Sukadamai dan Kelurahan ujungbatu. Sejak masih menjadi sebuah perkampungan, Kota Ujungbatu selalu menjadi salah satu pusat peradaban dan pusat pasar bagi daerah sekitarnya, baik ketika menjadi bagian dari pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun saat masih menjadi bagian dari pemerintahan Kerajaan Rokan IV Koto. Dari semua perkampungan yang mengisi peradaban Kerajaan Rokan IV Koto yang masih bertahan sampai saat sekarang, maka keberadaan Kota Ujungbatu adalah yang paling pesat perkembangannya. Begitu juga ketika menjadi sebuah kecamatan pemekaran di Kabupaten Rokan Hulu, semenjak semenjak berpisah dengan Kecamatan Tandun, Kota Ujungbatu semakin berkembang sangat pesat dan saat ini menjadi pusat perbelanjaan yang menyediakan berbagai keperluan bagi daerah sekitarnya.

Sebagai pusat pasar bagi daerah sekitar, Kota Ujungbatu tumbuh menjadi pusat perekonomian di Kabupaten Rokan Hulu. Lingkungan kota yang kondusif dan terbuka bagi siapa saja serta keramahan masyarakat tempatan terhadap para pendatang, mempercepat pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk Kota Ujungbatu. Populasi penduduk semakin hari semakin meningkat, para pendatang yang datang dari berbagai daerah dan dari berbagai etnik suku bangsa ikut membaur dan menyesuaikan dengan adat istiadat masyarakat setempat yang secara turun temurun lebih dulu menempati wilayah teritorial Kota Ujungbatu. Sebagai produk kebudayaan masyarakat, maka adat istiadat yang ada di Kota Ujungbatu saat ini merupkan tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh sejumlah masyarakat yang mengisi struktur sosial masyarakat secara adat sejak tempo dulu. Komposisi dari struktur sosial masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, merupakan bagian dari sejarah terbentuknya Kota Ujungbatu.  

Semua kejadian masa lampau yang menghiasi perjalanan Kota Ujungbatu masih diwariskan turun temurun dari mulut kemulut dan hadir dalam berbagai versi. Kurangnya literasi tertulis serta semakin berkurangnya orang tua tua dulu yang tahu sejarah kota Ujungbatu, dikuatirkan akan menggerus dan menghilangkan informsi yang menghiasi kejadian masa lampau dari Kota Ujungbatu. TULISAN ini, adalah  salah satu bentuk upaya untuk melestarikan semua kejadian masa lampau yang menghiasi perjalanan Kota Ujungbatu dari waktu ke waktu. Selain itu juga diharapkan bisa menambah perbendaharaan literasi yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sebagai rujukan dari generasi ke generasi. Karya Tulis ini juga masuk dalam nominasi 10 besar karya ilmiah dalam Lomba Penulisan Karya Tulis yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Riau pada tahun 2022 yang bertemakan tentang Sejarah dan Pengembangan Wilayah (kampung/desa/kota) di wilayah Riau.

            Sejarah Kota Ujungbatu tidak lepas dari teori tentang sejarah yang disampaikan oleh Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa sebuah peradaban merupakan proses tahapan tertentu dari masyarakat tertentu pula yang telah mencapai kemajuan tertentu yag di cirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, tekhnolagi dan seni yang telah maju. Kebudayaan atau peradaban memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya namun memiliki hakikat yang sama yaitu; terwujud dan tersalur melalui prilaku manusia, sudah ada sejak lahirnya generasi dan tetap ada setelah generasi pengganti mati, diperlukan manusia yang diwujudkan lewat tingkah laku dan berisi aturan yang berkewajiban, tindakan yang diterima atau tidak serta larangan dan pantangan.  

Perubahan peradaban adalah perubahan sosial yang terjadi dalam struktur masyarakat atau dalam organisasi sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Adanya perubahan peradaban disebabkan oleh faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yang mempengaruhi peradaban adalah ; bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk, adanya penemuan penemuan baru yang meliputi berbagai proses, konflik dalam masyarakat, dan pembrontakan dalam tubuh masyarakat. Sedangkan faktor ekstern yang mempengaruhi peradaban adalah ; faktor alam yang ada disekitar masyarakat yang berubah dan pengaruh kebudayaan lain dengan melalui adanya kontak kebudayaan antara dua masyarakat atau lebih yang memiliki kebudayaan yang berbeda. 

Para Ahli sejarah mengatakan bahwa seorang penulis sejarah harus menjadi orang yang kreatif, kritis dan imajinatif untuk bisa menggambarkan kejadian masa lampau dalam bentuk sebuah tulisan.  Menurut Ilham Daeng Makkelo ( 2017)  dalam sebuah jurnal Lensa Budaya tentang Sejarah Perkotaan, Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis dikatakan bahwa diperlukan sebuah imajinasi dalam menyajkan sebuah data yang didapatkan untuk membuat karya tulis tentang sejarah. Literasi dan Data yang didapatkan untuk mnggambarkan sebuah kawasan perkotaan semakin lama semakin beragam. Seorang penulis sejarah harus mampu menampilkan data dengan analisa berfikir yang baru. Tidak hanya dalam konteks menjejer data dalam urutan kronologikal secara konvensional namun diperlukan kekuatan interpretasi dan imajinasi sehingga bisa menggambarkan kejadian masa lampau secara akurat dalam bentuk tulisan.

Konsep penulisan yang digunakan untuk karya tulis ini adalah konsep sejarah kota yang dipaparkan oleh Kuntowijoyo yang menyebutkan bahwa garapan pertama sejarah kota adalah perkembangan ekologi dimana interaksi manusia dan alam sekitarnya. Bidang garapan kedua adalah transformasi sosial ekonomi, ketiga adalah sistem sosial, keempat adalah problem sosial dan yang terakhir adalah mobilitas sosial. Menurut ahli ekologi yang dimaksud dengan kota adalah masalah kependudukan yang terpisah pisah karena latar belakang kemakmuran dan kebudayaan. Menurut ahli ekonomi kota adalah pusat produksi, perdagangan, dan distribusi dengan basis kesatuannya adalah organisasi organisasi sebuah ekonomi. Pandapat Max Weber dijadikan sebagai tambahan acuan penulisan yang mengatakan bahwa suatu tempat dapat dikatakan sebagai kota apabila penghuni tempatan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya pada pasar lokal. Barang barang kebutuhan di hasilkan oleh penduduk pedalaman dan diperjualbelikan dipasar tersebut. Sehingga Weber menyebutkan ciri kota adalah adanya pasar dan  benteng serta mempunyai sistem hukum tersendiri dan bersifat kosmopolitan.

Kota kota yang tersebar di Kabupaten Rokan Hulu merupakan sisa peradaban dari kebudayaan bangsa Melayu Rokan tempo dulu. Secara garis besar struktur sosial masyarakat Kabupaten Rokan Hulu disusun oleh ras rumpun bangsa melayu. Sebagaimana umumnya seluruh negara di Asia Tenggara, maka ras rumpun bangsa melayu inilah yang mengisi struktur sosial masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hampir seluruh etnik yang mengisi keanekaragaman suku bangsa indonesia dikategorikan sebagai ras rumpun bangsa melayu. Ras rumpun bangsa melayu identik dengan asal usul suku bangsa yang mendiami nusantara, baik yang datang pada zaman purba sebelum mengenal logam ataupun setelah mengenal logam. Berdasarkan waktu datangnya, maka masyarakat Kota Ujungbatu merupakan rumpun bangsa melayu yang telah mengenal logam. Kata melayu berasal dari bahasa Sansekerta yaitu melaya. Secara historis kata melayu atau melaya merujuk  dari kata Malayadvipa yaitu sebuah propinsi di pulau yang kaya emas dan perak. Disana berdiri bukit yang disebut dengan Malaya yang artinya sebuah gunung besar (Mahamalaya). Sehingga bangsa melayu disebut juga sebagai orang gunung yang menjadi cikal bakal adanya bangsa melayu di nusantara. Migrasi ras rumpun melayu ke indonesia khususnya sumatera terjadi dalam periode 2 gelombang besar, yaitu pada tahun 2500 SM dan pada 500 SM. Migrasi besar besaran ini sebagai akibat adanya ekpansi dari kerajaan champa (yaitu sebuah bangsa parsi lama atau iran tua). Migrasi yang terjadi Pada 2500 SM adalah rumpun proto melayu, yang membawa kebudayaan batu yang akan menjadi asal muasal suku melayu tua yang saat ini menjadi cikal bakal suku tradisional masing masing dareah di Indonesia, seperti kalau di Sungai Rokan adalah suku sakai, bonai, talang mamak dan lainnya.

Migrasi yang kedua terjadi pada tahun 500 SM adalah deutro melayu yang membawa kebudayaan perunggu yang lebih mengenal tekhnologi sehingga kedatangannya membuat suku melayu tua terdesak dan lari kepedalaman.  Rumpun melayu di Riau berdasarkan tempat bermukimnya bisa dibagi menjadi beberapa jenis yaitu :

  1. Melayu Riau Kepulauan, yaitu masyarakat Melayu Riau yang bermukim di kawasan provinsi Kepulauan Riau, yang terdiri dari:
    • kabupaten Bintan
    • kabupaten Karimun
    • kabupaten Kepulauan Anambas
    • kabupaten Lingga
    • kabupaten Natuna
    • kota Batam
    • kota Tanjung Pinang
  2. Melayu Riau Daratan, yaitu masyarakat Melayu Riau yang bermukim di kawasan provinsi Riau, yang terdiri:
    • Melayu Riau Pesisir:
      • kabupaten Bengkalis
      • kabupaten Rokan Hilir
      • kota Dumai
      • kabupaten Kepulauan Meranti
      • kabupaten Siak
      • kabupaten Indragiri Hilir
    • Melayu Riau Pedalaman:
      • kabupaten Kampar
      • kabupaten Rokan Hulu
      • kabupaten Kuantan Singingi

Bangsa melayu memiliki tradisi tersendiri dalam membuka areal peladangan untuk menanam padi. Kota kota yang sekarang ini masih terjaga eksistensinya adalah bentuk dari sebuah perkembangan areal perladangan yang selanjutnya menjadi tempat bermukim.  Iskandar, Johan (1992) menyebutkan ada kesamaan pola dalam pembukaan lahan perladangan secara tradisional di kawasan Indonesia. Pola perladangan yang dianut oleh masyarakat adalah pola perladangan berpindah. Secara tradisi mereka menggarap lahan pertanian  dengan karakteristik khusus yaitu menebang hutan untuk ditanami tanaman padi dan tanaman lainnya secara singkat antara 1 – 2 tahun, lalu lahan diistirahatkan dengan interval waktu yang cukup panjang mulai 3 tahun sampai puluhan tahun. Hal ini tergantung dari luas wilayah dan kepadatan penduduknya. Pada daerah daerah yang masih luas dan jarang penduduknya, maka masa jeda interval penggarapan lahan dapat cukup lama, namun pada kawasan yang tidak luas dan penduduknya makin padat, maka masa jeda penggarapan lahan lebih singkat.

Sedangkan untuk masyarakat Kabupaten Rokan Hulu,  Junaidi Syam (2007) dalam Trombo Rokan mengatakan bahwa untuk membuka ladang lazim dilakukan oleh masyarakat tradisional Melayu Rokan secara berkelompok yang dikenal dengan istilah “banja”. Banja adalah sebuah komunitas yang dibangun karena adanya sistem berladang secara berkelompok. Junaidi Syam juga menyebutkan bahwa setiap kelompok ladang bisa terdiri dari 15 sampai 60 ladang. Saat musim berladang maka kawasan banja tersebut menjadi sebuah perkampungan yang ramai. Setiap banja memiliki struktur organisai sosial masyarakat yang terdiri dari beberapa orang yang ditokohkan untuk memimpin. Rumah rumah pemilik ladang dalam sebuah banja dibuat berhadap hadapan dan berdekatan sehingga kehidupan musiman dalam sebuah banja mirip dengan sebuah perkampungan. Kawasan hamparan sebuah banja yang besar bisa mencapai 40 – 60 ladang, sedangkan kawasan hamparan banja yang kecil paling sedikit 15 buah ladang.

Cikal bakal Kota Ujungbatu berawal dari banja tempat orang berladang. Kepadatan penduduk di Kampung Lubuk Bendahara memicu sebagian penduduknya untuk mencari lahan baru untuk membuka ladang. Penduduk Kampung Lubuk Bendahara yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Melayu Rokan pada umumnya yang memiliki pola yang sama dalam membuat ladang secara tradisional. Semakin sempitnya lahan disekitar kampung Lubuk Bendahara menyebabkan mereka mencari alternatif lahan berladang sampai kewilayah Kota Ujungbatu. Awalnya wilayah Kota Ujungbatu dijadikan sebagai tempat berladang berubah menjadi tempat menetap dan bermukim. Semakin lama pertumbuhan jumlah penduduknya semkin bertambah dari waktu kewaktu.

 Penyusunan Karya Tulis tentang Sejarah Kota Ujungbatu ini mengunakan metode historis.  Metode ini dipilih karena karya tulis ini adalah kajian sejarah yang data datanya diperoleh dari jejak jejak yang ditinggalkan dari suatu peristiwa masa lampau. Arikunto (1990), menyebutkan bahwa metode historis digunakan untuk mendeskripsikan gejala atau peristiwa tetapi bukan pada saat penelitian dilakukan. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau untuk kemudian ditulis berdasarkan fakta yang diperoleh.

Tahapan penulisan Sejarah Kota Ujungbatu akan menempuh beberapa langkah yang akan dilakukan  untuk membuat sebuah Karya Tulis tentang sejarah yaitu :

1.      Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan bahan tertulis dan lisan yang relevan. Langkah ini disebut heuristik.

2.      Menyingkirkan bahan bahan tertulis yang tidak autentik. Langkah ini disebut kritik/ferifikasi.

3.      Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan bahan yang autentik. Langkah ini disebut interpretasi.

4.      Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti. Langkah ini disebut historiografi.

 

Untuk memudahkan menuliskan sebuah sejarah peradaban perkotaan bisa dilakukan periodisasi secara temporal. Penulisan sejarah berdasarkan periodisasi telah menjadi kekhasan dalam penelitian sejarah kota di Indonesia. Perkembangan sebuah kota dimulai dari perhatian seseorang terhadap cikal bakal terbentuknya tempat berkumpulnya suatu komunitas yang menjelma menjadi sebuah perkampungan.  Tahapan penulisan sejarah diungkapkan oleh Isman, 2005 yang membagi langkah penulisan sebagai berkut; heuristik yaitu pengumpulan sumber, kritik yang terdiri dari kritik eksternal dan internal, interpretasi dan historiografi atau penulisan.

Heuristik berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata heurishein yang berarti menemukan. Abdurrahman (2007), menjelaskan bahwa heuristik ini adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan ilmu, oleh karena itu heruristik tidak memiliki aturan aturan umum. Jadi heuristik merupakan ketrampilan menemukan, menangani, merinci bibliografi atau mengklasifikasi dan merawat catatan catatan. Sjamsuddin (2007), mengungkapkan bahwa heuristik adalah suatu kegiatan mencari sumber sumber untuk mendapatkan data data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan masalah yang dikaji. Berdasarkan teori tersebut dalam karya tulis Sejarah Peradaban Kota Ujungbatu ini penulis akan melakukan usaha pencarian dan pengumpulan sumber tertulis serta lisan dari berbagai sumber yang berhubungan sehingga akan menjadi acuan penulisan.    

Selanjutnya setelah mendapatkan berbagai sumber yang dianggap relevan dengan karya tulis adalah melakukan kritik terhadap sumber sumber yang terkumpul. Sjamsuddin (2007), mengatakan bahwa seorang sejarawan tidak akan meneima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber sumber yang diperoleh. Melainkan harus menyaringnya secara kritis, terutama terhadap sumber primer agar terjaring fakta fakta yang menjadi pilihannya. Tahap ini adalah tahap tersulit dalam membuat karya tulis tentang sejarah karena kebenaran sejarah itu sendiri tidak dapat didekati secara langsung, dan juga tidak lengkapnya sifat dari sumber sejarah sehingga perlu keahlian untuk memilah sumber yang dipercaya. Untuk itu diperlukan verifiksi atau kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keabsahan sumber. Pada tahap ini seorang sejarawan akan dihadapkan pada benar dan salah, kemungkinan dan keraguan. Untuk mengatasinya kritik dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal dititikberatkan kepada isi dari sumber sejarah sedangkan kritik eksternal fokus pada aspek dari luar sumber sejarah. Kritik eksternal ini nantinya akan menjadi penyeimbang dari kebenaran sumber sejarah sehingga bisa menjaga kredibilitas dari sumber sejarah yang akan digunakan untuk menjadi sebuah tulisan.

Setelah mendapatkan sumber yang sesuai topik maka dilakukan interpretasi untuk menafsirkan keterangan yang telah diperoleh dari berbagai sumber sejarah baik berupa tulisan, bangunan monumental maupun lisan. Interpretasi ini disebut juga dengan analisis sejarah yang merupakan tahap dimana seorang sejarawan akan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari berbagai sumber sejarah. Bersama dengan teori teori tentang sejarah disusunlah fakta fakta tersebut dalam suatu interpretasi yang dilakukan secara menyeluruh.   Ada tiga aspek penting dalam melakukan interpretasi fakta sejarah. Pertama, analisi kritis yaitu menganalisi struktur intens dan pola pola hubungan antar fakta fakta. Kedua, historis-substantif yaitu mennyajikan suatu uraian prosesual dengan dukungan  fakta fakta yang cukup sebagai ilustrasi suatu perkembangan. Sedangkan yang ketiga adalah sosial-budaya yaitu dengan memperhatikan manifestasi insani dalam interaksi dan interrelasi sosial budaya.

Setelah semua sumber data dipilah dan di interpretasi barulah selanjutnya dikisahkan kepada pembaca melalui sebuah tulisan atau yang disebut dengan historiografi. Historiografi ini merupakan usaha mensintesiskan semua hasil penelusuran atau penemuan yang berupa data data dan fakta fakta sejarah menjadi sebuah tulisan yang utuh, baik berupa karya besar maupun hanya berupa makalah kecil. Menurut Isman (2005), historiografi adalah usaha untuk mensitesiskan data data dan fakta fakta sejarah menjadi suatu kisah yang jelas baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.  Karya tulis tetang Sejarah Peradaban Kota Ujungbatu ini adalah sebuah historiografi yang dibuat oleh penulis melalui tahapan tahapan yang dilakukan sesuai dengan pendapat para ahli tentang langkah langkah dalam penulisan sebuah sejarah.

Karya tulis ini bercerita dengan ruang lingkup Sejarah Peradaban Kota Ujungbatu baik saat masih menjadi bagian dari Kerajaan Rokan IV Koto maupun sebagai salah satu kawasan daerah perkotaan yang terdapat di Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau. Sebagian besar isi tulisan diambil dari artikel yang dibuat oleh penulis dari beberapa artikel yang dimuat dalam blog “Adatujungbatu@blogspot.com. Karya Tulis ini merupakan penyempurnaan dari beberapa artikel sebelumnya yang telah ditambah dengan beberapa sumber dan fakta terbaru yang berhubungan. Beberapa artikel yang dimuat dalam Blog Adatujungbatu@blogspot.com  sejak tahun 2015 tersebut banyak menceritakan kearifan lokal dan sejarah asal muasal suatu perkampungan di Kabupaten Rokan Hulu dan salah satunya adalah tentang Kota Ujungbatu. Penulisan artikel dalam blog tersebut awalnya bertujuan untuk menjawab kekuatiran penulis terhadap semakin tergerusnya sejarah dan kebudayaan lokal masyarakat akibat kemajuan zaman. Banyak terjadi kesimpangsiuran cerita dari berbagai versi dalam menjawab sebuah kejadian masa lampau pada dewasa ini. Berbagai interprestasi dan ilustrasi muncul tentang kejadian masa lalu tentang Kota Ujungbatu dan semakin jauh dari apa yang diwariskan secara turun temurun. Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kebenaran sejarah dan kebudayaan lokal masyarakat Kota Ujungbatu maka penulis merangkum semua curai paparan tentang kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun tersebut dalam sebuah tulisan.

Sejarah Peradaban Kota Ujungbatu ini disajikan dalam bentuk Karya Tulis dengan dukungan literasi lainnya yang berhasil dikumpulkan. Beberapa tulisan baik berbentuk artikel, buku, jurnal, skripsi dan curai paparan yang berhubungan akan dijadikan sebagai tambahan acuan dalam penulisan. Kemudian juga ada tulisan tangan dari Ghazali mulir, tulisan tangan Saman Melayu, Tulisan Drs, H. Rasyidin Datuk Bimbo, Dokumen dokumen notulen rapat Lembaga kerapatan Adat Ujungbatu yang berhubungan dengan Sejarah Peradaban Kota Ujungbatu dan dikolaborasikan dengan buku dan literasi lainnya yang berhubungan. Selain itu sebagai data pendukung lainnya agar dapat menyajikan suatu kebenaran fakta sejarah maka dilakukan wawancara mendalam untuk mendapatkan curai paparan dari orang tua tua dulu yang merupakan pelaku dan pewaris sejarah Kota Ujungbatu.

 

Sekilas Tentang Kota Ujungbatu

Secara geografis Kota Ujungbatu terletak pada sebuah kawasan yang dilalui oleh jalur transportasi yang menghubungkan berbagai daerah. Pada Zaman Kerajaan Rokan IV Koto, Kota Ujungbatu sebagai perkampungan yang terletak pada pinggiran jalur lintas transportasi air, dan pada zaman sekarang Kota Ujungbatu terletak pada kawasan jalur lintas transportasi darat. Bentang alam dari Kota Ujungbatu ini belah oleh Sungai Rokan dengan topografi yang relatif datar. Letaknya yang strategis pada kawasan jalan lintas memicu pesatnya perkembangan Kota Ujungbatu sehingga menjelma menjadi pusat perekonomian di Kabupaten Rokan Hulu.  Program Transmigrasi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sejak era tahun 80-an didaerah sekitar kota Ujungbatu menjadikan Kota Ujungbatu sebagai pusat perbelanjaan. Pembukaan perkebunan kelapa sawit besar besaran baik oleh BUMN ataupun pihak perusahaan swasta semakin mendongkrak laju pertumbuhan penduduk dan perluasan wilayah serta perkembangan Kota Ujungbatu.

Para investor banyak yang berdatangan untuk membuka usaha disegala bidang di Kota Ujungbatu. Dari sebuah Kampung tempat orang berladang akhirnya saat ini Kota Ujungbatu telah menjadi sebuah Kota Besar yang di isi oleh penduduk dari berbagai jenis etnik dan suku bangsa yang membaur dengan masyarakat tempatan. Heterogenitas kebudayaan yang dibawa masyarakat pendatang membawa perubahan peradaban dan  mengisi keragaman struktur sosial masyarakat adat yang ada di Kota Ujungbatu.  Berdasarkan data per tanggal 27 juni 2022 yang didapat dari Dinas Catatan Sipil Kabupaten Rokan Hulu saat ini jumlah populasi jumlah penduduk Kecamatan Ujungbatu mencapai 58.414 jiwa dengan rincian kelurahan Ujungbatu 21.026 jiwa, desa Ngaso 7.527 jiwa, desa Sukadamai 9.619 jiwa, desa Ujungbatu Timur 8.342 jiwa dan desa Pematang Tebih 11.900 jiwa. Relatif padatnya jumlah penduduk .

Keberadaan Kota Ujungbatu saat ini tidak terlepas dari perkembangan sebuah perkampungan yang awalnya di isi oleh penduduk tempatan yang berasal dari suku Melayu Rokan. Dikisahkan dari mulut ke mulut secara turun temurun, kawasan Kota Ujungbatu dulunya adalah berupa rawa. Rawa tersebut memiliki luasan yang menyerupai sebuah danau yang digunakan orang tempo dulu sebagai tempat untuk mencari ikan. Danau tersebut dinamai “ Danau Seseak Jalo “ yang melekat dengan salah satu julukan Kota Ujungbatu yaitu “ Negeri Seseak Jalo “. Penamaan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya potensi ikan yang terdapat didalamnya. Dari cerita yang beredar di masyarakat menyebutkan bahwa dengan sekali melempar jala sudah bisa mendapatkan tangkapan ikan untuk makan orang sekampung. Cikal bakal Kota Ujungbatu diperkirakan berdiri sejak dari abad ke-17 yang awalnya sebagai tempat orang berladang pada Zaman Kerajaan Rokan IV Koto di Koto Ujugbatu Tinggi, kemudian berkembang dan berubah menjadi sebuah Kota yang tergabung secara administratif sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau dengan nama Kecamatan Ujungbatu.

Kota Ujungbatu saat ini merupakan merupakan sebuah Kota terbesar dan menjadi pusat perbelanjaan di Kabupaten Rokan Hulu. Dengan luas 133,66 Km2, secara geografis Kota Ujungbatu dibelah oleh Sungai Rokan, memiliki iklim sangat basah tipe A berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, suhu rata rata berkisar 28,0 derjat celsius dan curah hujan mencapai 2.938 mm/tahun. Topografi Kota Ujungbatu relatif datar dengan kelerengan 0 – 8 % dan ketinggian lokasi lebih  kurang  20 mdpl. Secara administratif  Kota Ujungbatu merupakan pemekaran dari Kecamatan Tandun yang dulunya ber Ibukota di Kelurahan Ujungbatu. Setelah mekarnya Kabupaten Rokan Hulu dari Kabupaten Kampar berdasarkan Undang Undang Nomor 53 tahun 1999, maka wilayah Kecamatan Tandun di pecah menjadi dua bagian dimana sebagian besar wilayahnya masuk ke Kabupaten Kampar dan menyisakan wilayah terdiri dari desa Ngaso, Desa Sukadamai dan kelurahan Ujungbatu yang masuk ke Kabupaten Rokan Hulu. Desa Ngaso, Desa Sukadamai dan kelurahan Ujungbatu itu sendiri awalnya menjadi desa penuh sejak tahun 1977 dan khusus Desa Ujungbatu diresmikan menjadi Kelurahan Ujungbatu oleh Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur TK I Propinsi Riau pada tanggal 9 Juni 1981 dan menjadi Kota kecil pada tanggal 11 Mei 1991.

Setelah keluarnya Undang Undang Nomor 53 tahun 1999 tersebut terjadilah sengketa wilayah antara Kabupaten kampar dan Kabupaten Rokan Hulu dalam memperebutkan tiga desa bekas kecamatan Tandun yaitu Desa Tandun, Desa Aliantan dan Desa kabun. Masing masing kabupaten memperjuangkan tiga desa tersebut masuk kedalam wilayah teritorialnya. Kisah sengketa wilayah ini akhirnya dibawa keranah hukum dengan melakukan persidangan di Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya berdasarkan persidangan di Mahkamah Konstitusi, tiga desa bekas kecamatan Tandun tersebut ditetapkan termasuk wilayah administratif Kabupaten Rokan Hulu. Adanya sengketa wilayah bekas Kecamatan Tandun tersebut, tidak berpengaruh terhadap Kota Ujungbatu yang dulunya adalah Ibukota dari Kecamatan Tandun tersebut. Kota Ujungbatu  tetap mekar menjadi sebuah kecamatan yang baru dengan nama Kecamatan Ujungbatu dan Ibukotanya berada kelurahan Ujungbatu. Saat ini Kecamatan Ujungbatu terdiri dari Desa Ngaso, Desa Sukadamai, Desa Pematang Tebih, Desa Ujungbatu Timur dan Kelurahan Ujungbatu yang kita sebut dengan “Kota Ujungbatu”. Wilayah teritorial kota Ujungbatu berbatasan dengan Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam di sebelah Selatan, Kecamatan Rokan IV Koto disebelah Utara, kecamatan Tandun disebelah Timur dan kecamatan Rambah Samo di sebelah Barat.

 Proses terbentuknya Kota Ujungbatu

Ada dua macam pola pembentukan perkampungan di wilayah bekas Kerajaan IV Koto yaitu perkampungan yang dibentuk oleh adanya intervensi Raja dan Perkampungan yang di bentuk oleh keinginan masyarakat. Perkampungan yang terbentuk adanya intervensi raja untuk membuka perkampungan baru terjadi pada pembentukan cikal bakal Desa Pendalian, Desa Lubuk Bendahara, Desa Rokan dan Desa Sikebau. Pola pembentukan perkampungan tersebut mirip dengan program transmigrasi yang terjadi pada masa pemerintahan Republik Indonesia, bedanya bersifat lokal tidak terjadi migrasi penduduk antar pulau. Sedangkan pola perkampungan yang terbentuk dengan keinginan masyarakat terjadi pada cikal bakal desa lainnya seperti Desa Tanjung Medan, Desa Pemandang, Desa Cipang Kiri, Desa Tibawan, dan Kota Ujungbatu.

Berdasarkan sumber yang dijadikan acuan penulisan ditemukan adanya “bahasa adat” yang diwariskan secara turun temurun mengatakan bahwa “Ujungbatu dan Lubuk Bendaharo adalah adik dan kakak, yang boajok bokalang pematang, botindik ughek padi, kok boladang sobidang suang, kok bokojo moambik hari “’ (artinya: Kota Ujungbatu dan Desa Lubuk Bendahara adalah ibarat seorang adik dan kakaknya, batasnya hanya berupa pematang yang ditumbuhi urat dari rumpun padi, kalau membuka ladang masing masing hanya satu bidang tanah sesuai kemampuan, kalau bekerja dalam mengolah ladang tersebut bergotong royong dengan bergantian sesuai hari yang ditentukan) . Dari bahasa adat tersebut diartikan bahwa Kota Ujungbatu merupakan pengembangan dari wilayah perkampungan Lubuk Bendahara.

Menurut, H. Abdul Hakam Datuk Bendaharo Ujungbatu dan senada dengan apa yang disampaikan oleh Datuk Bendaharo Lubuk Bendaharo disebutkan bahwa Kota Ujungbatu yang sekarang merupakan pengembangan atau perluasan wilayah dari Koto Ujungbatu Tinggi. Koto Ujungbatu Tinggi berada dijalan lintas Ujungbatu – Rokan. Letaknya berada diantara lingkungan Durian Sebatang Desa Sukadamai dan Desa  Lubuk Bendahara sekarang. Nama Koto Ujungbatu Tinggi itu sendiri adalah penyebutan identitas tempat berdasarkan ciri penampakan dari lokasi perkampungan. Jika mengairi Sungai Rokan dari Desa Rokan yang saat itu merupakan ibukota kerajaan, maka wilayah perkampungan dengan tebing bebatuan yang tinggi dan paling ujung terletak pada kawasan perkampungan di Koto Ujungbatu Tinggi. Kata “ Koto Ujungbatu Tinggi” terdiri dari suku kata “ Koto” yang artinya kampung, “Ujung” artinya paling ujung dari kerajaan Rokan IV Koto, dan “Batu Tinggi “ artinya menunjukkan lokasi perkampungan tersebut dicirikan oleh adanya tebing yang berbatu dan tinggi.

Cerita yang beredar dimasyarakat didukung oleh letak lokasi Koto Ujungbatu Tinggi secara gerografis. Setelah Koto Ujungbatu Tinggi tidak lagi ditemukan tebing bebatuan yang tinggi jika menghiliri Sungai Rokan. Hilangnya kata  “Tinggi “ pada sebutan Nama  “ Koto Ujungbatu Tinggi “ terjadi setelah pusat perkampungan masyarakat berpindah dari Koto Ujungbatu tinggi ke daerah yang datar di Lingkungan Koto Ruang Kota Ujungbatu. Cikal bakal perkampungan di daerah Koto Ujungbatu Tinggi diawali oleh adanya keinginan dari adik Datuk Bendaharo Kampung Lubuk Bendahara yang ingin mandiri dan membuka areal perladangan sendiri.

Pada suatu hari dikisahkan adik dari Datuk Bandaharo Kampung Lubuk Bendahara menghadap abangnya dan menyampaikan keinginannya untuk mandiri dan membuka ulayat serta areal perladangan sendiri. Setelah mendengar penuturan adiknya, Datuk Bendahara Lubuk Bendahara menanggapi dengan senang hati dan jawaban tersebut diabadikan melalui sebuah kata yang diwariskan turun temurun yang lebih kurang berbunyi “ Kalau nak bukak soko bang, cai dek bang tanah bolobieh dari aku ko “ ( bahasa tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan adiknya agar dalam mencari tapak untuk lokasi areal perladangan masih merupakan kelebihan tanah dari ulayat perkampungan Lubuk Bendahara dan belum masuk ulayat perkampungan lain atau kerajaan lainnya). Setelah mendapat mandat dari Datuk Bendaharo akhirnya adiknya membuka lokasi tempat berladang di daerah Koto Ujungbatu Tinggi.

Letak dari Koto Ujungbatu Tinggi dan Lubuk bendahara yang berdekatan secara gepgrafis mendukung cerita yang beredar bahwa cikal bakal Koto Ujungbatu Tinggi adalah sisa kelebihan tanah ulayat dari kampung Lubuk Bendahara yang belum digarap oleh masyarakat. Berbeda dengan perkampungan lainnya yang terbentuk dengan adanya intervensi dari Raja Rokan, yang secara geografis letaknya berjauhan. Misalnya antara Lubuk Bendahara dan Rokan berjarak mencapai diatas 20 Km, antara Pendalian dan Rokan di atas 12 Km, antara Sikebau dan Rokan diatas 15 Km, sementara jarak antara Koto Ujungbatu Tinggi dan Lubuk Bendahara tidak sampai 3 Km. Dekatnya jarak perkampungan antara Lubuk Bendahara dan Koto Ujungbatu tinggi menunjukkan bahwa dulunya areal lokasi Koto Ujungbatu Tinggi adalah ulayat dari kampung Lubuk Bendahara yang di berikan  oleh Datuk Bendaharo selaku penghulu kampung Lubuk Bendahara kepada adiknya untuk membuka ulayat sendiri. Bahasa pemberian tanah dari seorang kakak kepada adiknya sampai sekarang masih diwariskan dalam bahasa adat yang berbunyi “ Ujungbatu Tanah Bolobieh, Ujungbatu dan Lubuk adik kakak, Ujungbatu dan Lubuk ibarat Ujung dan Pangkal Rumah”. Kemudian disambung lagi dengan bahasa yang membunyikan tidak terdapat batas tanah ulayat antara kampung Lubuk bendahara dan Koto Ujungbatu Tinggi dengan bahasa; “ bo ajok bokalang pematang, botindik uwek padi, kok boladang sobidang suang, kok bojo mo ambik hari”. Koto Ujungbatu Tinggi yang awalnya adalah tempat berladang lama kelamaan menjadi sebuah perkampungan dengan semakin banyaknya orang yang menetap disana.

Ada dua versi kisah senada yang menceritakan momentum awal berkembangnya jumlah penduduk Koto Ujungbatu Tinggi menjadi sebuah perkampungan yang ramai. Ramainya jumlah penduduk pada awalnya sebagai akibat adanya migrasi penduduk dari Koto Bungo Tanjung. Koto Bungo Tanjung ini terletak di bagian hulu kampung Lubuk Bendahara Sekarang yang sebelumnya bernama Koto Kocik. Versi yang pertama terdapat dalam catatan yang dibuat Oleh Yang Dipertuan Sakti Ibrahim yang menyebutkan bahwa Sultan Halifata’ilah bersama para pengikut setianya pindah ke Koto Ujungbatu Tinggi dari Koto Bungo Tanjung.  Disebutkan Sultan Halifata’ilah mengalami perseteruan rumah tangga dengan istrinya yang bernama Puti Intan Sudi. Puti Intan Sudi yang merupakan adik kandung dari Raja Rokan yang bernamaYang Dipertuan Sakti Lahit. Beliau tidak terima dimadu karena suaminya menikah lagi dengan salah satu gadis yang terdapat dalam suku nan enam di Koto Bungo Tanjung. Karena sakit hati, Puti Intan Sudi memutuskan melarikan diri meninggalkan suaminya dan Koto Bungo Tanjung bersama sebagian penduduk yang merupakan pengikut setianya ke daerah kekuasaan Kerajaan Rambah. Karena ditinggal istrinya, akhirnya Sultan Halifata’ilah bersama penduduk lainnya meninggalkan Koto Bungo Tanjung dan menetap di Koto Ujungbatu Tinggi.

Versi yang kedua didapat dari cerita yang beredar di masyarakat yang menyebutkan bahwa Koto Ujungbatu Tinggi semakin ramai penduduknya dengan datangnya orang dari Koto Bungo Tanjung. Penduduk Koto Bungo Tanjung meninggalkan perkampungannya karena adanya wabah serangan “ Somuk Gata “. Secara harfiah kata “Somuk Gata” adalah nama sejenis semut kecil yang sarangnya terdapat didalam tanah dan berwarna kemerahan. Jika jenis semut ini menggigit kulit manusia akan meninggalkan sensasi gatal dan perih, sehingga orang Melayu Rokan manamainya “Somuk Gata”. Secara logika tidak mungkin banyaknya populasi semut sampai membuat sebuah perkampungan yang terdiri dari areal pemukiman dan areal perladangan menjadi kosong akibat ditinggalkan penduduknya apalagi serangan semut tersebut tidaklah mematikan dan mudah untuk diatasi. Bahasa serangan “Somuk Gata” yang diceritakan secara turun temurun tersebut lebih memungkinkan sebagai sebuah bahasa kiasan untuk menggambarkan karakteristik moral yang berkaitan dengan aktivitas seksual dan dianggap tabu yang dilakukan oleh seseorang serta bertentangan dengan adat istiadat. Apalagi orang yang melakukannya adalah seorang yang ditokohkan atau dimuliakan, maka untuk membahasakannya lazim dilakukan sehalus mungkin melalui sebuah bahasa kiasan.

Dewasa ini dalam bahasa melayu kata “Gata” bisa diartikan sebagai tindakan tidak biasa yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Misalnya seorang perempuan yang merayu laki laki, maka perempuan tersebut akan dicap sebagai “perempuan gata” atau kegatelan.  Jika kita hubungkan dengan kasus yang menimpa Sultan Halifata’ilah, maka kata “Somuk Gata”,  berkemungkinan adalah bahasa kiasan yang menggambarkan peristiwa keretakan rumah tangga antara Sultan Halifata’ilah dan Puti Intan Sudi yang disebabkan oleh datangnya pihak ketika yang digambarkan masyarakat secara halus melalui bahasa “Serangan Somuk Gata”. Sehingga beredarlah bahasa yang diwariskan turun temurun yang menyebutkan bahwa Koto Bungo Tanjung mengahadapi wabah serangan “Somuk Gata”.  Terlepas dari benar tidaknya penafsiran bahasa “Somuk Gata”, namun bisa ditarik kesamaan versi yang mengatakan bahwa perkembangan penduduk Koto Ujungbatu Tinggi pada mulanya diawali oleh ramainya orang yang datang dari Koto Bungo Tanjung untuk menetap disana. Berdasarkan uraian diatas, maka Sultan Halifata’ilah hidup di zaman pemerintahan Yang Dipertuan Sakti Lahit selaku Raja Rokan IV Koto dengan periode pemerintahan sejak tahun1645 – 1704 M, sehingga diperkirakan Koto Ujungbatu Tinggi menjadi sebuah perkampungan pada periode tersebut atau sekitar abad ke-17 M.

Selanjutnya Koto Ujungbatu Tinggi semakin berkembang pada masa Raja Rokan IV Koto Yang Dipertuan Sakti Ahmad yaitu dari tahun 1837 – 1856 M.  Pada Masanya diangkat seorang Andiko di Koto Ujungbatu Tinggi. Seorang Andiko pada zaman Kerajaan Rokan IV Koto, dianggap sebagai saudara angkat seorang raja dan diberi gelar Datuk Bendaharo. Sejak itu, Koto Ujungbatu Tinggi ditetapkan menjadi kampung yang setara dengan IV Koto lainnya yang ada di Kerajaan Rokan IV Koto. Secara harfiah “ Koto “ artinya adalah kampung,  dan “ IV “ artinya empat, maka kata “ IV Koto ” dimaksudkan untuk menunjukkan keberadaan empat buah perkampungan induk dalam pemerintahan Kerajaan Rokan IV Koto. Penunjukan Koto Ujungbatu Tinggi menggantikan salah satu Koto yang telah menjadi rimba yaitu kampung Sikebau karena di tinggalkan penduduknya akibat dari Perang Padri.

Saat ini Koto Ujungbatu Tinggi yang merupakan cikal bakal Kota Ujungbatu tidak lagi menjadi tempat pemukiman namun telah berubah menjadi sebuah kawasan perkebunan kelapa sawit milik masyarakat. Penduduknya secara bertahap bermigrasi ke wilayah yang lebih datar yang tersebar di seluruh wilayah Kota Ujungbatu sekarang. Awalnya penduduk Koto Ujungbatu Tinggi awalnya bermigrasi ke daerah Durian Sebatang Desa Sukadamai, kemudian bermigrasi lagi ke Koto Ruang Kelurahan Ujungbatu dan akhirnya berkembang sampai menjadi sebuah kota besar seperti saat sekarang. Penyebutan Nama Koto Ujungbatu Tinggi juga telah berubah menyisakan nama Ujungbatu.

Pergeseran pusat perkampungan dari Koto Ujungbatu tinggi dimulai sejak Penghulu Koto Ujungbatu Tinggi di pimpin oleh Datuk Bendaharo Hitam. Dengan latar belakang semakin padatnya jumlah penduduk dan lahan tempat berladang tidak lagi memadai di Koto Ujungbatu Tinggi, membuat salah seorang kaki tangan kepercayaan Datuk Bendaharo Hitam yaitu Ninik Poladang berkeinginan untuk mencari wilayah baru.  Dikisahkan Ninik Poladang menceritakan keinginannya untuk mencari lahan baru sebagai tempat bermukim dan berladang kepada Datuk Bendaharo Hitam. Keinginan Ninik Poladang mendapat tanggapan positif dari Datuk Bendaharo Hitam karena ternyata juga memiliki keinginan yang sama. Untuk mencari lokasi lahan baru tersebut, Ninik Poladang dan Datuk Bendaharo Hitam serta beberapa orang lainnya  berjalan kaki melewati hutan belantara  ke arah hilir Sungai Rokan. Setelah capek berjalan akhirnya mereka beristirahat pada sebatang Pohon Durian yang tumbuh liar. Batang Pohon Durian tersebut sangat fenomenal karena memiliki diameter yang sangat besar. Jika seandainya batangnya direbahkan, maka orang yang berdiri dibalik batang tersebut tidak akan kelihatan.

Karena sangat berkesan mereka menamakan tempat tersebut menjadi “ Durian Sebatang “.  Lokasi ini selanjutnya menjadi salah satu tujuan pindah bagi penduduk yang ada di Koto Ujungbatu Tinggi. Lokasi Durian Sebatang lebih datar dan tebing Sungai Rokan lebih landai sehingga lebih mudah untuk mengakses sumber air. Durian Sebatang itu sendiri terletak dibagian hulu dari Lingkungan Petakur Atas Desa Sukadamai Kecamatan Ujungbatu. Setelah puas beristirahat rombongan inipun membuat rakit untuk selanjutnya mencoba pencarian lahan baru dengan mengairi sungai Rokan. Saat menghiliri Sungai Rokan, mereka memasuki sebuah kawanan rawa yang bernama “Danau Seseak Jalo”. Untuk naik darat, rakit mereka selanjutnya dibawa menepi kesuatu tempat yang tanahnya menjorok ke dalam air rawa. Tempat tersebut diberi nama “Tanjung Lubuk Tanam Konji atau sering juga disebut Toluk Koranji  yang letaknya di sekitar swalayan Doa Bunda Desa Sukadamai Ujungbatu. Dulu ada sebatang Pohon Bintungan yang berumur rartusan tahun disana, namun karena keperluan pelebaran jalan akhirnya di tebang pada masa pemerintahan Bapak Suparman selaku Bupati Rokan Hulu.

Ninik Poladang tersebut membawa seekor anjing yang bernama sibelang. Kemana mereka pergi sebelang selalu mengikuti dari belakang, kemudian pada suatu lokasi yang datar dan memiliki ruang agak bersih (tidak bersemak) serta terdapat sebuah lobang, anjing yang bernama sibelang tadi tidak mau beranjak dan hanya  mengelilingi lobang tersebut  sambil terus menggonggong seperti ada suatu hal yang akan disampaikan kepada tuannya. Melihat tingkah anjing tersebut rombongan Datuk Bendaharo Hitam kehilangan akal dan berfikir dalam hati, mungkin disinilah tempat yang pas untuk mendirikan perkampungan yang baik lalu Datuk Bendaharo Hitam menancapkan batang kayu sebanyak empat buah dengan jarak seluas satu depa persegi disekitar lobang tersebut sebagai penanda untuk tempat membuka pemukiman. Tempat tersebut selanjutnya diberi nama “Koto Ruang”, dan ditetapkan sebagai lokasi yang akan dibuat kampung. Penamaan ini disebutkan karena terdapat sedikit ruang yang lapang yang tidak ditumbuhi semak. Sebagian penduduk Koto Ujungbatu Tinggi akhirnya ada yang memilih pindah ke Koto Ruang dan sebagian lagi ada yang memilih pindah ke Durian Sebatang. 

Dari Koto Ruang perkampungan mulai berkembang ke daerah Kubu Juar. Dinamakan Kubu Juar karena merupakan kumpulan orang berladang yang pemondokannya terbuat dari kayu Juar. Selanjutnya dari Kubu Juar perkampungan berkembang kearah Sungai Teriak. Perkampungan di Sungai Teriak ini sangat berkembang pesat karena menjadi pusat pasar dimana ketika itu transportasi masih banyak bergantung sama air sungai. Selanjutnya secara bertahap perkampungan semakin berkembang sampai menjadi Kota Ujungbatu sekarang.

 

 Wilayah Teritorial Kota Ujungbatu

Sejak ditetapkan menjadi salah satu perkampungan atau Koto yang setara dengan kampung lainnya di Kerajaan Rokan IV Koto, maka secara adat Koto Ujungbatu Tinggi mendapatkan sebuah kawasan teritorial yang menjadi hak ulayatnya. Wilayah ulayat Kota Ujungbatu Secara Administratif saat ini sebagian besar adalah wilayah kecamatan Ujungbatu yang berbatasan dengan Kecamatan Tandun di sebelah Timur, dengan Kecamatan Rambah Samo disebelah Barat, dengan Kecamatan Rokan IV Koto disebelah Utara dan dengan Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam di sebelah selatan. Batas wilayah ulayat Kota Ujungbatu menyesuaikan dengan kawasan ulayat Kerajaan Rokan IV Koto.

Berdasarkan sumber yang didapatkan penulis, penetapan setiap sisi dari batas wilayah teritorial Kota Ujungbatu memiliki kisah kejadian masa lampau yang melatar belakanginya. Berikut adalah sejarah penetapan batas wilayah Kota Ujungbatu yang didapat dari cerita masyarakat:

1.      Batas sebelah Timur.

Penetapan batas ulayat Kota Ujungbatu di sebelah timur menyesuaikan dengan batas wilayah Kerajaan Rokan dengan batas wilayah Kenagarian Kampar.   Penetapan batas tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raja Rokan yang Ke-2 yaitu Tengku Raja Rokan. Tengku Raja Rokan ini memerintah di Kerajaan Rokan dari tahun 1381 – 1454 M, sedangkan untuk Kenegarian Kampar adalah wilayah ulayat dari kekuasaan Datuk Ama Pahlawan dari kenegerian Tapung atau Tandun. Dikisahkan pada masa tersebut , masyarakat kerajaan Rokan di teror oleh gerombolan perampok yang datang dari laut dengan menggunakan sebuah kapal yang di pimpin atau di nakhodai oleh Pendekar Ayam Berkokok. Setiap malam gerombolan ini menantang orang sambil menepuk nepuk dada untuk melakukan adu kesaktian di ibukota Kerajaan Rokan yang waktu itu berada di Koto Sembahyang Tinggi.

Para hulubalang kerajaan yang geram menengok tingkah para perampok dilarang oleh raja untuk menanggapi tantangan tersebut secara langsung.  Raja Rokan mencari siasat dan memilih orang yang tepat untuk menanggapinya tanpa melibatkan anggota kerajaan. Setelah tujuh hari akhirnya raja Rokan memerintahkan tujuh orang hulubalangnya berangkat ke Kenagarian Tapung atau Tandun sekarang yang saat itu bernama Koto Sibuayo. Mereka diminta untuk menjumpai seseorang yang bernama Datuk Ama Pahlawan. Datuk Ama Pahlawan ini dikenal sebagai seorang yang gagah berani dan sakti mandraguna. Diriwayatkan ketujuh hulubalang ini akhirnya berjalan menuju Koto Sibuayo dengan membawa seekor anjing. Begitu  sampai di Bukit Suligi mereka mendengar anjing yang mereka bawa berkelahi dengan anjing lainnya yang dijumpainya disana. Mereka akhirnya menuju arah suara tempat perkelahian anjing tersebut dan berjumpa dengan Datuk Godang Cincin beserta anaknya yang datang dari Negeri Tanjung.

Setelah memisahkan perkelahian kedua ekor anjing tersebut, masing masing pihak menceritakan tujuan dan maksud mereka sehingga bisa berjumpa di Bukit Suligi. Ketika mendengar keinginan para hulubalang Kerajaan Rokan yang membawa titah raja untuk mencari Datuk Ama Pahlawan dan meminta bantuannya menghadapi serta mengalahkan gerombolan Pendekar Ayam Berkokok, maka Datuk Godang Cincin menawarkan dirinya yang mewakili Datuk Ama Pahlawan untuk mengalahkan gerombolan tersebut, dengan dia mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah ini belum perlu meminta bantuan Datuk Ama Pahlawan. Setelah mendapatkan kata mufakat, maka ketujuh hulubalang ini menerima tawaran dari Datuk Godang Cincin. Singkat cerita lalu akhirnya mereka kembali ke Koto Sembahyang Tinggi dengan membawa Datuk Godang Cincin beserta anaknya.Setelah menghadap dan mendapat persetujuan Raja Rokan Datuk Godang Cincin mulai merencanakan waktu yang tepat untuk menjawab tantangan Pendekar Ayam Berkokok. Pada hari yang ditentukan dilakukanlah adu kesaktian dihalaman istana antara Pendekar Ayam Berkokok dengan Datuk Godang Cincin yang diwakili oleh anaknya.

Pertarungan antara anak Datuk Godang Cincin dan Pendekar Ayam Berkokok berlangsung sengit. Setelah lama waktu berjalan tidak ada satupun pukulan atau  tebasan pedang yang bisa mengenai lawan. Datuk Godang Cincin yang memantau pertarungan ini sambil makan tebu mulai risau karena terlalu lama anaknya mengalahkan Pendekar Ayam Berkokok. Akhirnya pada satu kesempatan Datuk Godang Cincin melemparkan tebu yang sedang dimakannya ke kaki Pendekar Ayam Berkokok sehingga menyebabkannya kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu dimanfaatkan anak Datuk Godang Cincin dengan melayangkan tebasan pedang ke arah tenggorokan Pendekar Ayam Berkokok. Tebasan pedang anak Datuk Godang Cincin menewaskan seketika Pendekar Ayam Berkokok. Semua harta Pendekar Ayam Berkokok berhasil dirampas, dan anak buahnya disuruh kembali kekapal dan diminta meninggalkan kerajaan Rokan. Untuk membalas jasa Datuk Godang Cincin dan anaknya maka tempat pertemuan antara tujuh hulubalang Raja Rokan dengan Datuk Godang Cincin di Bukit Suligi ditetapkan sebagai batas Kerajaan Rokan dan Kenegarian Tapung atau Tandun. Dengan pedoman kisah tersebut, maka batas Koto Ujungbatu Tinggi pada sisi sebelah timur adalah dengan menarik garis khayal dari Bukit Suligi menuju hulu Sungai Danto dan berujung di Bukit Langgak.

2.      Batas sebelah Barat.

Penetapan batas ulayat Kota Ujungbatu pada sisi sebelah barat berkaitan dengan batas Kerajaan Rokan IV Koto dengan Kerajaan Rambah. Batas dua kerajaan ini dibuat setelah meredanya perang saudara antara dua kerajaan tersebut. Melalui perundingan antara pihak Kerajaan Rokan dan pihak Kerajaan Rambah dibuat kesepakatan bahwa penetapan tapal batas akan ditentukan keberadaannya pada tempat pertemuan utusan masing masing kerajaan dalam suatu perjalanan dari daerah masing masing di hari yang disepakati. Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua pihak, maka berjalanlah masing-masing utusan dari daerahnya masing masing. Utusan kerajaan Rambah berangkat mulai jam 3 dini hari, sedangkan utusan kerajaan Rokan pada waktu tersebut baru mulai memasak bekal perjalanan, sesudah makan dan minum pagi baru mulai berjalan, sehingga akhirnya kedua rombongan bertemu pada suatu tempat yang dinamai Padang Lintam Sangkir. Padang Lintam Sangkir ini terletak disekitar jalan raya Ujungbatu-Pasir Pengaraian, tepatnya di persimpangan jalan menuju PT. Sawit Asahan Indah (PT. SAI).

Sesuai dengan perjanjian maka diambillah sepotong besi yang telah disediakan sebelumnya lalu ditancapkan pada sebatang pohon Sialang dan diikrarkan disitulah sebagai tanda yang menjadi batas ulayat antara Kerajaan Rokan IV Koto dan Kerajaan Rambah. Kisah ini diabadikan dalam kata adat yang berbunyi " Sialang Bolantak Bosi, tecacak pila sebatang, di Aur tigo serayo, ke hilir ke Lubuk Jambu".  sehingga akhirnya ini menjadi referensi dalam penentuan batas ulayat dari Koto Ujungbatu di sisi sebelah barat.

3.      Batas sebelah Selatan

Kota Ujungbatu di sebelah selatan berbatasan dengan Pagaran Tapah yang zaman dahulu merupakan wilayah Kerajaan Kunto Darussalam. Klaim Perbatasan sebelah selatan Kota Ujungbatu menyesuaikan dengan batas Kerajaan Rokan IV Koto ini dibuat sejak pemerintahan Raja Rokan yang ke-4 yaitu Sultan Sipedas Padi. Saat pemerintahannya dibuat kebijakan penambahnan perkampungan Kerajaan menjadi empat buah atau IV Koto. Salah satu daerah yang dipilih menjadi Koto adalah Koto Kocik Lubuk Bendahara.

Penduduk Koto Kocik Lubuk Bendaharan sebagian berasal dari penduduk ibu kota kerajaan di Koto Sembahyang Tinggi, dan sebagian lagi berasal dari beberapa kelompok keluarga yang lebih dahulu membuka areal perladangan di sekitar Koto Kocik Lubuk Bendahara. Sebagian penduduk yang telah lebih dahulu berladang tersebut berasal dari ladang mereka yang terletak di Padang Sopan Sungai Ngaso. Padang Sopan ini terletak diantara Sungai Ngaso dan Lubuk Jambu. Secara adat dan tradisi orang yang pertama membuka hutan belantara dianggap sebagai pemilik lahan. Sehingga walaupun telah menetap di Koto Kocik Lubuk Bendahara, namun hak penguasaan tanah di daerah Padang Sopan Sungai Ngaso tetap milik mereka secara adat. Dengan demikian karena lahan perladangan di sekitar Padang Sopan Sungai Ngaso tersebut  adalah milik masyarakat Kerajaan Rokan IV Koto yang bermukim di Koto Kocik Lubuk Bendahara,  maka secara otomatis kawasan tersebut menjadi wilayah teritorial Kerajaan Rokan IV Koto yang selanjutnya menjadi batas ulayat Kota Ujungbatu di sisi sebelah selatan.

Ada juga versi lain dari cerita masyarakat yang mengisahkan bahwa awal penetapan batas dibuat berdasarkan perundingan Kerajaan Rokan IV Koto dan Kerajaan Kunto Darussalam dimana penetapan batas berdasarkan jatuh peluru meriam yang ditembakkan oleh masing masing pihak dari ibukota kerajaan, namun  tidak temukan dukungan data yang menguatkan, sehingga penulis lebih memiliki kecendrungan terhadap peristiwa yang diceritakan di atas sebagai patokan sejarah dalam penetapan batas Kota Ujungbatu. 

4.      Batas Sebelah Utara

Pada zaman Kerajaan Rokan IV Koto tidak ada batasan ulayat antara Kota Ujungbatu dan Lubuk Bendahara  karena keduanya termasuk sebagai bagian dari wilayah teritorial kekuasaan kerajaan Rokan IV Koto. Hal ini diabadikan dengan kata adat yang berbunyi : "Ujungbatu dan Lubuk Bendahara ibarat pangkal dan ujung rumah, boajok bokalang batang botindik uwek padi. Yang dimaksudkan bahwa penduduk keduanya adalah secucu sekemenakan, sepayung dibawah panji kerajaan Rokan, dengan tata cara pengendalian penguasaan lahan untuk peladangan diabadikan dengan kata adat ” Boladang sobidang surang, Bokojo moambik ari”,”kok tibo silang solisih samo-samo di selosaikan. Kok koruh samo-samo di jonihkan, yang dimaksudkan hanya untuk menentukan batas dalam pengerjaan lahan. Akan tetapi secara administratif permasalahan tapal batas Desa Lubuk Bendahara dan Kota Ujungbatu (Desa Suka Damai) sudah pernah dimusyawarahkan pada tahun 2005. Dimana hasilnya sama sama menunjuk bahwa Koto Ujungbatu Tinggi sebagai Perbatasan antara Kota Ujungbatu dan Desa Lubuk Bendahara. Pada musyawarah tersebut, para pihak menunjukkan bahwa:

 -          Pihak dari wakil desa Lubuk Bendahara batas ulayat adalah terletak di Bandar Parit (Aro Kuning) Koto Ujungbatu Tinggi

-         Pihak Ujungbatu (desa Sukadamai) mengemukakan batas ulayat adalaah Koto Ujungbatu Tinggi.

Secara keseluruhan wilayah teritorial adat Kota Ujungbatu di bunyikan melalui sebuah Kata Adat yang diwariskan secara turun temurun yang berbunyi:  Ulayat Ujungbatu berdasarkan Warih Bojawek, Pisoko Botolong Tolotak di Sialang Bolantak Bosi Tocacak Pila Sobatang Di Aur Tigo Serayo Ko Hilir Lubuk Jambu Menyoborang Ko Bukik Langgak Ayie Togolek Ko Kiri Daerah Kunto Togolek Ko Kanan Punyo Ujungbatu Sampai Ko Sialang Muaro Birah Adalah Berbatasan Dengan Kerajaan Kunto. Dari Sialang Muaro Birah Sampai Ke Hulu Sungai Danto Bo Batas Dengan Tandun. Dari Hulu Sungai Danto Menuju Bukik Suligi Sampai Ke Koto Ujungbatu Tinggi Berbatasan Dengan Lubuk Bendahara.

Kata Adat ini merupakan gambaran wilayah Kota Ujungbatu secara keseluruhan berdasarkan rangkumannya dari semua sisi. Wilayah ulayat ini sebagian besar masuk kedalam wilayah Kecamatan Ujungbatu Saat ini, kecuali Desa Tapung Jaya yang termasuk kedalam wilayah Administratif Kecamatan Tandun.

 

Cikal Bakal Penduduk Kota Ujungbatu

Cikal bakal kelompok penduduk suatu kota membawa budaya dari tempat asalnya yang secara tradisi mengisi tatanan norma kehidupannya atau yang disebut juga dengan adat istiadat. Adat istiadat ini salah satunya tergambar dari struktur organisasi sosial yang ada pada wilayah tersebut. Struktur Sosial Masyarakat Adat ini dibentuk oleh adanya kesamaan keinginan masyarakat untuk menciptakan suasana perkampungan yang kondusif dalam  mendukung semua aktivitas yang akan dilakukan dari semua sisi. Interaksi sosial yang terjadi baik sesama manusia maupun dengan alam sekitar dan terhadap pencipta, akan diatur melalui suatu tatanan norma yang secara tradisi ditaati secara bersama. Untuk mendukung berjalannya norma tersebut terbentuklah suatu organisasi sosial dalam masyarakat tersebut. Lazimnya struktur sosial masyarakat di isi oleh komponen pemerintah, ninik mamak, dan alim ulama atau yang dkenal dengan istilah Tali bopilin tigo, atau Tungku tigo sejorangan.  Keteraturan sosial dalam kehidupan masyarakat akan sangat tergantung dari keselarasan dan keharmonisan organisasi sosial yang menyusun struktur sosial masyarakat tersebut.

Secara garis besar adat istiadat yang terdapat di Kota Ujungbatu dibawa oleh komponen masyarakat dari ras rumpun bangsa melayu yang terdiri dari ber suku-suku sebagai orang yang pertama kali menempantinya. Untuk memudahkan penafsiran dari kata Suku, maka berdasarkan objeknya dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama, Jika objeknya adalah bangsa di dunia maka pengertian suku adalah etnik atau ras dari bangsa yang membentuk struktur sosial dengan perbedaan ciri bentuk tubuh dan bahasa. Misalnya bangsa Tionghua yang bermata sipit, bangsa  Melayu yang berkulit sawo matang , bangsa Arab yang berbadan besar, bangsa India yang yang berkulit gelap dan bertubuh besar , bangsa Negro yang berkulit hitam dan sebagainya. Kedua, Jika objeknya bangsa Indonesia, maka suku diartikan sebagai etnik keanekaragaman suku yang membentuk struktur sosial masyarakat Indonesia, misalnya suku Jawa, Minang, Melayu, Batak, Bugis, Sunda, Papua dan lain sebagainya yang memiliki perbedaan bentuk fisik, budaya dan bahasa. Dan yang Ketiga,  Jika objeknya orang Melayu yang bersuku suku-suku dalam suatu kawasan teritorial ulayat adat, maka suku memiliki pengertian kelompok masyarakat yang saling memiliki keterkaitan keturunan berdasarkan ibu, dimana kelompok masyarakat tersebut terbentuk dari beberapa orang ibu (induk atau perut dalam istilah adat).

Berdasarkan objeknya etnik suku bangsa di dunia, maka struktur sosial masyarakat Kota Ujungbatu termasuk menjadi bagian dari ras rumpun bangsa melayu yang mengisi struktur sosial masyarakat dari bangsa melayu didunia. Jika objeknya etnik suku yang mengisi keragaman suku bangsa dan negara Indonesia, maka struktur sosial masyarakat Kota Ujungbatu saat ini terdiri dari suku Melayu Rokan atau suku tempatan, suku jawa, suku minang, suku batak, suku sunda dan lain sebagainya. Dan Jika objeknya suatu kawasan teritorial ulayat adat maka secara adat, ada 5 suku yang berada di wilayah adat Kota Ujungbatu yaitu Suku Melayu Godang, Suku Melayu Tongah, Suku Caniago, Suku Moniliang Godang dan Suku Moniliang Tongah. Secara organisasi sosial setiap suku memiliki pimpinan adat yang disebut dengan Mamak Suku.

Terbentuknya organisasi sosial berupa suku-suku yang kini ada diseluruh bekas perkampungan Kerajaan Rokan IV Koto termasuk Kota Ujungbatu diawali oleh budaya yang dibawa oleh orang yang datang pertama kali menjadi penduduk di kampung tersebut. Yang Dipertuan Sakti Ibrahi menyebutkan bahwa setiap suku memiliki daerah asal yang berbeda. Suku Melayu datang dari Pariangan Padang Panjang Sumatera Barat, yang konon kabarnya merupakan Suku turunan dari Raja Adityawarman atau Raja Melayu yang membentuk Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat, Suku Caniago Berasal dari masyarakat asli yang dulunya bermukim di Pariangan Padang Panjang Sumatera Barat, sedangkan Suku Moniliang berasal dari Koto Bonio Tinggi yaitu perkampungan dari Kerajaan Padang Nunang yang terletak di Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat.

Secara historis, asal muasal suku yang mengisi Struktur sosial masyarakat adat Kota Ujungbatu datangnya dari Desa Lubuk Bendahara Kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu sedangkan Penduduk Lubuk Bendahara itu sendiri sebagian besar berasal dari penduduk Koto Sembahyang Tinggi yang merupakan ibukota Kerajaan Rokan IV Koto. Ketika perkampungan Lubuk Bendahara mekar menjadi perkampungan baru yaitu Koto Ujungbatu Tinggi, maka suku suku yang mengisi struktur sosial masyarakat Lubuk Bendahara sebagian pindah ke Koto Ujungbatu Tinggi dan selanjutnya berkembang menjadi bagian dari penduduk  Kota Ujungbatu. Selain dari Lubuk Bendahara, penduduk Kota Ujungbatu awalnya juga ada yang datang dari perkampungan lainnya dari wilayah Kerajaan Rokan IV Koto, seperti dari Pendalian, Sikebau, dan Rokan. Karena memiliki keterkaitan secara garis keturunan, maka semua pendatang di Ujungbatu yang berasal dari empat koto lainnya di wilayah kerajaan Rokan tersebut, secara adat bergabung dan menyesuaikan dengan suku yang ada di Kota Ujungbatu. Jika tidak ada persamaannya sukunya maka secara adat diwajibkan  masuk menjadi anggota salah satu suku yang ada di wilayah Kerapatan Adat Kota Ujungbatu.  

Pada awalnya ada empat suku yang terdapat di Kota Ujungbatu yaitu Melayu, Moniliang, Caniago dan Petopang. Seiring dengan berjalannya waktu, populasi kelompok sosial dari suku petopang tidak bertambah dan cendrung berkurang. Dengan jumlah populasi yang semakin sedikit maka secara adat, suku petopang tidak lagi layak disebut sebagai kelompok sosial yang bisa  mendudukkan seorang mamak suku dalam wilayah kerapatan adat di Ujungbatu. Dengan demikian tinggallah tiga suku yang mengisi struktur sosial masyarakat adat Kota Ujungbatu yaitu, Suku Melayu, Suku Caniago dan Suku Moniliang.  

Menurut cerita dari H. Abdul Hakam, selanjutnya jumlah suku kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dilatar belakangi oleh adanya peraturan adat yang berjalan sangat ketat. Aturan adat yang melarang nikah sesuku menjadi hambatan atau kendala bagi cucu kemanakan yang akan menikah. Adanya larangan nikah sesuku membuat masyararakat kesulitan untuk mencari pasangan hidup, sehingga pertumbuhan populasi penduduk kampung menjadi lambat dan dikuatirkan akan punah. Supaya populasi penduduk bisa meningkat dengan cepat dan perkampungan ramai, maka anggota suku yang banyak jumlah populasinya di pecah menjadi dua bagian. Pemecahan suku dilakukan berdasarkan garis ibu (perut/induk suku) yang berbeda dalam suku tersebut. Suku yang dipecah ketika itu adalah Suku Melayu menjadi Malayu Godang Dan Melayu Tongah. Suku Moniliang menjadi Suku Moniliang Godang dan Moniliang Tongah, sehingga sampai saat ini terdapat 5 kelompok suku yang ada di Kota Ujungbatu.  

 

Struktur Organisasi Sosial Masyarakat Adat Kota Ujungbatu

Struktur organisasi sosial masyarakat adat yang ada di Kota Ujungbatu terbentuk sebagai akibatnya adanya beberapa suku yang mendiaminya. Setiap suku memiliki pimpinan adat yang disebut Mamak Suku. Mamak Suku ini terdiri dari dua orang yaitu Mamak Soko dan Mamak Pisoko. Mamak Soko adalah pimpinan adat masing masing suku yang lebih cendrung mengurus urusan eksternal dari suku seperti misalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintah dan kaum dari suku lainnya, sedangkan Mamak pisoko banyak berhubungan dengan urusan internal kesukuan, seperti acara nikah kawin anak cucu kemanakan, acara masuk suku dan lainnya. Setiap Mamak Suku memiliki gelar adat tersendiri. Adapun gelar adat Mamak Soko dan Mamak Pisoko masing masing suku di Kota Ujungbatu adalah sebagai berikut:

-          Suku Melayu Godang

Gelar Mamak Soko                 : Datuk Bendaharo

Gelar Mamak Pisoko               : Datuk Paduko Sindo

-          Suku Melayu Tongah

Gelar Mamak Soko                 : Datuk Paduko Sindoro

Gelar Mamak Pisoko               : Datuk Ajo Nan Mudo

-          Suku Caniago

Gelar Mamak Soko                 : Datuk Bimbo

Gelar Mamak Pisoko               : Datuk Paduko Jelo

-          Suku Moniliang Godang

Gelar Mamak Soko                 : Datuk Bijidirejo

Gelar Mamak Pisoko               : Datuk Ajo Tan Mudo

-          Suku Moniliang Tongah

Gelar Mamak Soko                 : Datuk Pokomo

Gelar Mamak Pisoko               : Datuk Rangkayo Mudo

Sebagai pimpinan adat seorang Mamak Suku yang tunjuk adalah tokoh yang dihormati dan disegani dalam kelompok suku tersebut dan merupakan orang yang arif dan bijaksana. Mamak Suku adalah seseorang yang memiliki multi talenta dan mampu mengakomodir semua kepentingan dalam kaumnya. Kearifan seorang Mamak Suku digambarkan dalam kata adat yang berbunyi :

Bo bolang bak Harimau
Bo gadiang bak Gajah
Bo suaro bak Onggang
Bo tughiang bak Selimang
Bo sayok bak olang

 

Mamak Suku sebagai pemimpin disebut dalam petatah petitih yang berbunyi :

Didulukan solangkah
Ditinggikan soantiang
Dituokan dek ughang banyak
Dikemukokan dek ughang ramai
Diangkek menurut adat
Dikukuhkan menurut limbago.

 

Mamak Suku adalah seseorang yang berkarakter dalam kepemimpinannnya dan diibaratkan dalam petatah petitih yang berbunyi:

Bokato lidahnyo masin
Bocakap pintaknyo kabul
Molenggang tangannyo bo isi
Monyu uh sokali puai
Mo imbau sokali datang
Mo larang sekali sudah

 

Mamak Suku adalah seseorang yang piawai dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang diibaratkan dalam petatah petitih yang berbunyi:

Bak kayu di tongah padang
Tompek bokumpuo Godang dan kocik
Imbun daunnyo tompek botoduh
Kuek dahannyo tompek bogantuong
Godang batangnyo tompek bosanda
Kokoh ugheknyo tompek  bosilang

Tompek kusuik disolosaikan
Tompek kowuh dijonihkan
Tompek sengketo disudahkan
Tompek hukum dijalankan
Tompek adat ditogakkan
Tompek syarak didirikan
Tompek limbago dituangkan
Tompek undang diundangkan
Tompek momberi kato putuih

Mamak Suku adalah seorang yang adil dan bijaksana yang digambarkan dalam petatah petitih yang berbunyi:

Monimbang samo borek
Monyukek Samo popek
Mongukuo samo panjang
Monakar samo ponuh
Monyimpul samo mati
monyimpai samo kuek
Mongobek samo kokoh

 

Mamak Suku adalah penyeimbang berbagai macam kepentingan yang dibunyikan dalam petatah petitih :

Yang  bo bungkah dita'ahnyo
Yang Kosek  diampolehnyo
Yang  monjungkek diratokannyo
Yang miang dikikihnyo
Yang molintang dilu'uhkannyo
Yang monyalah ditopekkannyo
Yang tiduo dijagokannyo
Yang lupo diingekkannyo
Yang sosek dituntunnyo
Yang hilang dicai nyo

Mamak Suku mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam setiap keputusan yang disebut dalam petatah petitih yang berbunyi:

Yang bo umah dalam musyawarah
Yang bo tompek dalam mufakat
Yang berdiri dalam budi
Yang togak dalam syarak
Yang duduk dalam khusyuk
Yang momandang dengan undang
Yang monengok dengan adat
Yang mondonga dengan tunjuk aja
Yang bo kato dengan sunnah
Yang bo laku dengan ilmu
Yang bo jalan dengan iman
Yang molangkah dengan petuah

 

Mamak Suku seperti dalam petatah petitih tersebut mampu memberikan kesejahteraan lahiriah dan batiniah bagi kaumnya atau anak cucu kemanakannya. Seperti yang disebut dalam petatah petitih yang berbunyi :

Yang dikatokan Mamak
Ondak monampin tahan ditakik
Ondak bo sakik tahan bo sompik
Ondak towuk  tahan to puruk
Ondak  bo impik tahan to sopik
Ondak susah tahan ponek
Ondak bo kubang tahan malu
Ondak ko tongah tahan ko topi
Ondak mombori tahan bobagi
Ondak susah tahan mo ugi

Mamak Suku yang dipilih oleh kaum dalam suatu suku, selain sehat jasmani dan rohani, wajib berasal dari suku yang bersangkutan. Sedangkan syarat khususnya adalah sebagai berikut:

a.       Syarat Menjadi Mamak Soko

Syarat menjadi Mamak Soko di setiap suku dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

-          Syarat Garis Keturunan

Secara silsilah Mamak Soko yang bisa diangkat adalah berasal dari masing masing induk suku yang ada di Ujungbatu, bukan dari pendatang yang masuk suku di Ujungbatu, yang lazim disebut dalam istilah adat : “ Botuong tumbuh di buku, Kerambie tumbuh di mato”.

-          Syarat prilaku

Karena Adat bersendi Syara’ dan Syarak bersendi kitabullah, maka ada 4 macam yang harus dipenuhi untuk menjadi mamak soko, yaitu:

-          Sidiq ; selalu bertindak benar

-          Tabligh; menyampaikan

-          Amanah; dipercaya

-          Fathonah; Cerdik

b.      Syarat menjadi Mamak Pisoko

Untuk menjadi Mamak Pisoko, cukup dengan harus memenuhi syarat prilaku yaitu sidiq, tabligh, amanah dan fathonah.

 

Proses penggantian mamak suku di Ujungbatu dapat di golongkan menjadi 2 bagian yaitu berhenti dengan hormat dan berhenti dengan tidak hormat.

-          Penyebab berhenti dengan hormat adalah :

Berhentinya Mamak Suku dengan hormat di abadikan dengan kata adat yang berbunyi“ Iduk bokorelaan “ yang artinya mamak suku sudah tidak mampu lagi memangku jabatannya sehingga diserahkan kembali kepada suku untuk dicarikan penggantinya. Biasanya penyebab pergantian ini adalah karena sudah terlalu tua, sakit yang tak mungkin sehat, pindah tempat sehingga tak bisa lagi memangku jabatannya yang digambarkan dengan sebuah kata adat yang berbunyi “ Komudiek ndo togalahkan, ko ulak ndo todayuongkan “. Mamak suku yang di pilih kadangkala ada yang sudah di kader oleh mamak suku sebelumnya atau lazim secara kata adat dinamakan “Kociek dipangku Godang di Ibo “.

            Selain karena sakit dan pindah tempat, berhentinya Mamak Suku dengan hormat juga bisa disebabkan oleh yang bersangkutan meninggal dunia. Ketika seorang Mamak Suku meninggal dunia maka proses penggantiannya bisa dilakukan melalui dua cara yaitu:

1.  Bopuntiang tanah sighah, artinya mamak suku dicari gantinya setelah mamak suku yang meninggal dunia dikuburkan.

2.  Mati botungkek batang podi, artinya mamak suku dicari gantinya sebelum mamak suku yang meninggal dunia dikuburkan.

 

-  Penyebab berhenti dengan tidak hormat :

1. Topanjek lansek masak yang artinya mencuri

2. Toposuntiang bungo kombang  yang artinya berzina

3. Tokuruong di umah bokunci yang artinya masuk penjara

4. Tomandi di pancuran gadiang yang artinya kawin sesuku

 

Ketika seorang mamak suku terpilih dikukuhkan dalam sebuah acara porsesi adat, baik untuk mengangkat Mamak Soko ataupun Mamak Pisoko,  maka akan disumpah dengan ancaman kato adat yang berbunyi “ Ko ateh ndo bopucuk, ko bawah ndo bo uwek, Di tongah di laghik kumbang”’ , yang artinya jika seandainya mamak suku tersebut menyalah gunakan jabatan untuk kepentingan pribadi maka mamak suku tersebut akan di laknat dan ditimba bala yang berkepanjangan. Selanjutnya diadakan acara syukuran makan bersama dari hewan yang disembelih dan dimasak sebelumnya oleh kaum ibu. Hewan yang disembleih adalah memenuhi syarat seperti kata adat yang berbunyi “ binatang yang botanduok, botelingo dan bo kaki ompek”. Seperti kerbau, sapi, atau sekurang kurangnya kambing.

Secara organisasi, semua pimpinan adat dari masing masing suku di Kota Ujungbatu berhimpun dalam sebuah sebuah Lembaga Kerapatan Adat. Lembaga Kerapatan Adat tersebut disingkat dengan LKA Kota Ujungbatu. Pucuk Pimpinan dari Lembaga Kerapatan Adat Kota Ujungbatu secara turun temurun dan dari generasi ke generasi di ketuai atau dipimpin oleh pimpinan adat Suku Melayu Godang yang bergelar Datuk Bendaharo. Menurut H. Abdul Hakam, Datuk Bendaharo adalah seorang Penghulu Kampung yang berperan sebagai wakil raja dalam membuat kebijakan disetiap perkampungan dan karena ada 4 orang Datuk Bendaharo yang berperan sebagai Andiko di kerajaan rokan maka disebut juga “Empat Besar Dibalai”.  Secara harfiah,  suku kata  “Datuk Bendaharo”  itu sendiri terdiri dari kata “Datuk” dan Kata “Bendaharo”.  

Kata “ Datuk atau Datuak atau Dato “ berasal dari bahasa Sanskerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan to artinya orang sehingga dapat bermakna sama dengan raja. Selanjutnya hal ini dapat juga dirujuk dari Prasasti Telaga Batu, dimana pada baris 11 terdapat kata kedatuan yang ditafsirkan sama dengan kedaton atau keraton yakni istana raja, sehingga kedatuan dapat disamakan dengan wilayah datu.. Selanjutnya kata datu ini berubah penuturan menjadi "datuk", suatu gelaran yang masih digunakan sampai saat ini di bumi melayu ataupun di minangkabau. Sedangkan Bendaharo menurut kamus besar bahasa indonesia, sama dengan bendahara yaitu pemegang harta benda negara atau raja, atau perdana mentri, atau bisa juga pengurus keuangan. Sehingga jika digabung kedua suku kata tersebut  menjadi Datuk Bendaharo atau Datuk bendahara yang artinya orang mulia yang diberi kepercayaan mengendalikan harta benda negara. Dengan demikian penyebutan Gelar Datuk Bendaharo sebagai penghulu kampung atau wakil raja oleh orang tua tua dulu senada dengan berbagai sumber lainnya yang mendukung pernyataan tersebut dan sampai sekarang tradisi gelar Datuk Bendaharo sebagai Pucuk Pimpinan Lembaga kerapatan Adat masih dilestarikan di Kota Ujungbatu.

Gelar Adat adalah merupakan suatu simbol yang diberikan oleh suatu kelompok kepada seseorang atau kelompok sebagai tanda seseorang atau kelompok tersebut diakui keberadaannya dalam masyarakat. Setiap Gelar adat yang diberikan akan memiliki makna tesendiri bagi masyarakat sehingga dalam pelaksanaan pemberian gelar harus dilakukan dengan upacara adat yang disebut dengan penabalan gelar adat. Pemberian gelar adat di Kota Ujungbatu tidak musti diberikan kepada pimpinan suku, namun juga bisa diberikan kepada seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat.  Ada lima macam perihal yang bisa dijadikan dasar dalam pemberian gelar adat di Kota Ujungbatu yang disampaikan dengan kata pribahasa yang berbunyi:

1.      Hidup Bokerelaan.

Hidup Bokerelaan artinya pemberian gelar adat kepada seorang generasi penerus seorang mamak suku karena sudah uzur atau tua. Penunjukan seorang pengganti mamak suku dilakukan melalui kesepakatan bersama dalam suatu suku dan di kukuhkan dalam kerapatan adat.

2.      Mati Botungkek Bodi

Mati Botungkek Bodi artinya bila seorang Mamak Suku meninggal dunia, maka gekar adat tersebut diberikan kepada penerusnya yang diputuskan melalui mufakat.

3.      Boposuntiang Tanah Merah atau Godang Di Pekuburan

Artinya menunjuk sementara seorang pengganti mamak suku yang meninggal dunia sampai nantinya diadakan pengangkatan resmi dalam upacara adat.

4.      Godang Monyusu/Godang Monyimpang

Ini terjadi dalam masyarakat yang sudah berkembang seperti saat sekarang, dimana untuk memudahkan tugas pemimpin adat diberikan gelar adat kepada orang yang patut mendapatkannya atas persetujuan bersama dalam kerapatan adat. Saat ini pemberian gelar adat ini biasanya diberikan kepada seorang pemimpin pemerintah, seorang cerdik pandai yang diakui ketokohannya, alim ulama dan lain sebagainya dimana orang tersebut dianggap berjasa bagi kampung tersebut.

5.      Membuek Kato Nan Baru

Artinya membuat gelar adat untuk seorang mamak suku yang akan membentuk suku baru di wilayah adat Kota Ujungbatu. Pemberian  gelar ini boleh dilakukan setelah suku yang akan dibentuk memenuhi syarat secara adat. Bagi masyarakat pendatang yang datang dari daerah lain dan populasi anggota sukunya telah berkembang di Kota Ujungbatu, kemudian memenuhi persyaratan yang diadatkan, maka mereka berhak mengajukan untuk membuat suku yang baru kepada Lembaga Kerapatan Adat Kota Ujungbatu.   

 

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Kota Ujungbatu berdiri sejak abad ke-17 M, awalnya adalah tempat orang berladang di Koto Ujungbatu Tinggi saat masih menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Rokan IV Koto, kemudian menjadi sebuah perkampungan dan akhirnya menjadi kota seperti saat sekarang.

2.      Cikal Bakal penduduk Kota Ujungbatu awalnya berasal dari Desa Lubuk Bendahara Kecamatan Rokan IV Koto ditambah dari beberapa perkampungan lainnya di wilayah Kerajaan Rokan IV Koto seperti pendalian, Rokan.

3.      Penduduk Kota Ujungbatu memiliki struktur organisasi sosial adat yang terdiri dari lima Suku yaitu Suku Melayu Godang, Suku Melayu Tongah, Suku Caniago, Suku Moniliang Godang dan Suku Moniliang Tongah dan masing masing suku memiliki pemimpin adat yang disebut dengan Mamak Suku.

4.      Pola terbentuknya Kota Ujungbatu sejenis dengan pola pembentukan kota lainnya di Indonesia yang dimulai dari tempat orang berladang, lalu menjadi perkampungan dan akhirnya menjadi sebuah kota.

5.      Penyebutan Nama Kota Ujungbatu berasal dari tempat awal mula berdirinya Kota Ujungbatu di Koto Ujungbatu Tinggi, yang seiring dengan berjalannya waktu menghilangkan kata Tinggi dan hanya menyisakan kata Ujungbatu.

6.      Wilayah teritorial Kota Ujungbatu meliputi seluruh wilayah Kecamatan Ujungbatu yang terdiri dari Desa Ujungbatu Timur, Desa Ngaso, Desa Sukadamai, Desa Pematang Tebih dan Kelurahan Ujungbatu.

7.      Batas wilayah Kota Ujungbatu secara umum dibuat berdasarkan wilayah ulayat Koto Ujungbatu Tinggi sejak zaman pemerintahan Kerajaan Rokan IV Koto

 

Sejarah Kota Ujungbatu adalah salah satu warisan budaya bangsa yang bernilai tinggi dibidang ilmu pengetahuan, untuk itu perlu mendapatkan apresiasi dengan melakukan dokumentasi dalam bentuk sebuah buku sehingga bisa diwariskan kepada generasi mendatang.

                           

 

Daftar pustaka

Abdurrahman, Dudung, 2007, Metodologi Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Amran, DT.Jorajo, 2016, Orang Rao Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Minangkabau Press

Arikunto, Suharsimi, 1990, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta

Berita Acara No: 146/854/Pem/95, 1995, Penetapan Batas Wilayah Desa Sukadamai Kecamatan Tandun Dengan Desa Lubuk Bendahara Kecamatan Rokan IV Koto, Bangkinang: Pembantu Bupati Kampar Wilayah I  

Iskandar,Johan, 1992, Ekologi Perladangan Indonesia, Jakarta : Djambatan

Junaidi Syam, 2007, Trombo Rokan, Pasir Pengaraian: Yayasan Garasi Bumy dan Dinas Pendidikan Kabupaten Rokan Hulu

Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan,  Jakarta : Gramedia

Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana

Max Webber, 2006, Sosiologi (Terjemahan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mubyarto dkk, 1992, Desa Dan Perhutanan Sosial, Yogyakarta:  P3PK-UGM

Muhammmad Raihan, Datuk Majolelo, 2005, Sekilas Adat Istiadat Kenegerian Tandun, Tandun: Pimpinan Kerapatan Adat Kenegerian Tandun

Nizami Jamil, 2005, Pengembangan Kebudayaan Dalam Pembangunan Daerah propinsi Riau, Pasir pengaraian: Balai Adat Melayu Riau

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No : 010/PUU-I/2003 tentang sengketa 3 desa antara Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu.

Rasyidin, DT Bimbo, 2005, Upacara Adat Ujungbatu, Ujungbatu ; Lembaga Kerapatan Adat Ujungbatu

Saman Melayu, 2000, Ujungbatu Dengan Adat istiadatnya, Ujungbatu: Lembaga Kerapatan Adat Ujungbatu

Saman melayu, 1995, Catatan Penyelesaian Sengketa Batas Desa Lubuk Bendahara Dan Desa Sukadamai Ujungbatu, Ujungbatu: Lembaga Kerapatan Adat Ujungbatu

Saifullah, Susi Fitria Dewi, 2020, Serba Serbi Perantau Rao (Rawa) Di Malaysia, Yogyakarta : Gre Publishing

Sjamsuddin, Helius, 2007, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penertbit Ombak

Tenas Efendy, 2004, Tunjuk Ajar Melayu, Yogyakarta: Balai Kajian Dan Pengembangan Budaya Melayu

Tenas Efendy, 2005, Pantun Nasehat, Yogyakarta: Balai Kajian Dan Pengembangan Budaya melayu

Saman Melayu, 1998, Berita Acara Tentang Mendirikan Suku Petopang, Ujungbatu: Lembaga Kerapatan Adat Ujungbatu

Surat Dinas LKA Kecamatan Ujungbatu, No:01/LKA/VI/1998, Tanggapan Surat Mandat Untuk Pendirian Suku Petopang Dari LKA Tingkat I Kampar, Ujungbatu: Lembaga Kerapatan Adat Ujungbatu

Saman Melayu, 1998, Sifat MembangunSoko, Ujungbatu: Lembaga Kerapatan Adat Ujungbatu

Undang-Undang No 11 Tahun 2003 tetang revisi wilayah administratif 3 desa yang menjadi sengketa antara Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu.

Undang-Undang Republik Indonesia No 53 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Rokan Hulu

Wasino, Endah Sri Hartatik, 2018, Metode Penulisan Sejarah : Dari Riset Hingga Penulisan, Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama

Ibrahim, Yang Dipertuan Sakti, 2014, Asal Usul Raja Rokan IV Koto, Masyarakatadatpakis@blogspot.com

Zeprianto, 2015, Asal Muasal Ujungbatu Rokan, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Sejarah Benteng Parit Aro Koto Ujungbatu Tinggi, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Sejarah Raja Rokan Yang Menetap Di Lubuk Bendahara, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Asal Usul Suku Secara Adat Di Ujungbatu, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Sejarah Dan Asal Penetapan Batas Kecamatan Ujungbatu, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Silsilah Raja Rokan IV Koto, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Koto Ujungbatu Tinggi, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Ujungbatu Bagian Dari IV Kotonya Kerajaan Rokan, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Asal Usul Suku Secara Adat Di Ujungbatu, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Sejarah Raja Rokan Yang Menetap Di Lubuk Bendahara, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Gambaran Mamak Suku Menurut Petatah Petitih Adat, Adatujungbatu@blogspot.com

Zeprianto, 2022, Penabalan Gelar Adat Di Luhak Rokan, Adatujungbatu@blogspot.com

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

POTONG EKOR IKAN JUARO MENGELUARKAN BAU KOTORAN MANUSIA

ASAL MUASAL UJUNGBATU ROKAN

SIHIR ILMU TINGGAM IKAN PARI SUNGAI ROKAN

MANCING IKAN PATIN SUNGAI ROKAN UMPAN BAKWAN

MENGENAL IKAN PERAIRAN KABUPATEN ROKAN HULU PART 1